
Garut,Ruangrakyatgarut.id – Di tengah bentang alam indah pegunungan Papandayan, tepatnya di wilayah Papai, Kecamatan Cisurupan, Kabupaten Garut, suara alam semakin lirih oleh dentuman alat berat dan raungan mesin penggali. Sejak 2019, aktivitas galian C di wilayah tersebut berlangsung tanpa henti, mengikis hutan, mengoyak ekosistem, dan melukai keberlangsungan hidup masyarakat.
Namun yang lebih menyayat hati dan sangat menyedihkan, tangisan rakyat yang meminta perlindungan justru terbentur tembok tebal bernama kekuasaan.
Tedi Sutardi, Ketua Perkumpulan Lingkungan Anak Bangsa (LIBAS), angkat suara dalam sebuah pernyataan sikap pada Sabtu malam (17/05/2025). Ia menyampaikan kekecewaan mendalam terhadap apa yang ia sebut sebagai “pengkhianatan konstitusional”—yakni pembiaran sistemik terhadap perusakan lingkungan yang sudah dilaporkan sejak enam tahun silam.
“Kami sudah lapor ke DPRD, ke dinas-dinas teknis, ke KSDA, bahkan ke Polres Garut. Dari tahun 2019! Tapi sampai sekarang, tak ada satu pun tindakan nyata. Ini bukan pembiaran lagi, ini pengkhianatan terhadap amanah rakyat,” ujar Tedi penuh amarah.
Hutan yang Terluka, Air yang Mengering
Aktivitas galian C yang beroperasi di Papai bukan sekadar menggali batu, tetapi juga menggali lubang dalam pada keberlangsungan lingkungan. Selain menyebabkan kerusakan fisik pada hutan yang menjadi penyangga kawasan, kerusakan ini telah berdampak pada terganggunya sumber mata air yang selama ini digunakan warga untuk kebutuhan sehari-hari, serta meningkatkan risiko bencana seperti longsor dan banjir.
“Sudah ada bencana kecil-kecil yang dirasakan warga. Air yang dulu mengalir deras, kini mulai kering. Lereng yang dulu hijau, sekarang botak dan gersang. Tapi kenapa tidak ada yang bertindak?” keluh Tedi.
Dia menambahkan bahwa kerugian negara pun sangat signifikan. Tidak hanya dari sisi ekologi, tetapi juga secara fiskal. Potensi retribusi dan pajak yang hilang akibat praktik eksploitasi ilegal ini mencapai ratusan juta rupiah per tahun.
Keadilan Hanya Jadi Pajangan
Kemarahan Tedi memuncak saat menggambarkan bagaimana hukum dan keadilan kini hanya menjadi simbol, bukan alat perjuangan rakyat. Ia mengungkapkan bahwa semua bukti telah dikumpulkan dokumen, data, bahkan saksi,namun semuanya tampak sia-sia di hadapan kekuasaan.
“Ada data, ada saksi, ada dokumen. Tapi semua dianggap angin lalu. Keadilan itu sekarang hanya jadi ornamen. Dipajang di kantor, dipidatokan di seminar, tapi tidak hadir di tengah rakyat yang membutuhkan,” katanya getir.
Sindiran Pedas untuk Pejabat
Dalam pernyataannya, Tedi juga melontarkan kritik tajam kepada para pejabat publik yang menurutnya lebih sibuk menikmati fasilitas negara ketimbang melindungi hak rakyat. Ia menyindir gaya hidup mewah yang dibiayai dari pajak rakyat, namun tidak dibarengi dengan keberpihakan pada kepentingan masyarakat.
“Rakyat bayar pajak tiap hari. Biar pejabat bisa gajian, bisa makan enak, bisa beli mobil untuk anaknya, dan cangcut untuk istrinya. Tapi ketika rakyat datang bawa keluhan, bawa air mata, bawa jeritan. Mereka semua diam seribu basa tanpa adanya tindakan apapun,” ungkapnya dengan nada tinggi.
Tedi juga menilai ada pengalihan isu sistematis yang sengaja dibuat untuk menutupi kerusakan lingkungan. Menurutnya, isu-isu remeh disebar dan dibesar-besarkan agar rakyat lupa pada luka utama yang lebih penting.
“Rakyat diseret ke isu-isu yang nggak penting. Biar lupa bahwa mereka sedang dihisap, dibohongi, dan dikhianati oleh sistem yang tidak adil,” tandasnya.
Ketabahan yang Terus Diuji
Di tengah heningnya respons dari pemerintah, masyarakat di Papai tetap menjalani hari-hari mereka berdampingan dengan kerusakan. Mereka terus bertani di tanah yang makin sulit diolah, mereka tetap mencari air dari sumber yang semakin kering, dan mereka tetap berharap pada negara yang makin jauh dari harapan.
Tedi menegaskan bahwa rakyat Garut bukan pemalas. Mereka adalah pekerja keras, pembayar pajak, dan warga negara yang taat. Tapi, ketika suara mereka tak lagi didengar, maka jalan terakhir bisa saja ditempuh.
“Kalau suara rakyat terus diabaikan, jangan salahkan kalau suatu saat mereka turun ke jalan. Ini soal hidup dan mati. Soal masa depan anak-anak mereka. Soal hak yang tak bisa digantikan dengan janji,” tegasnya.
Ajakan untuk Bersatu
Menutup pernyataannya, Tedi menyerukan agar semua elemen bangsa,media, akademisi, organisasi masyarakat sipil, ikut mengawal kasus ini sampai tuntas. Ia menegaskan bahwa perjuangan ini bukan tentang menentang pemerintah, tetapi tentang menghadirkan kembali negara di tengah rakyat.
“Kami tidak anti pemerintah. Tapi kami menolak negara yang abai. Kalau pemerintah tak mau hadir, maka biarlah rakyat yang jadi penjaga hutannya, pelindung tanahnya, dan pembela lingkungannya,” pungkasnya. (*)