
Oplus_131072
Garut,Ruangrakyatgarut.id – Suasana tenang di Desa Sagara, Kecamatan Cibalong, Kabupaten Garut, Jawa Barat mendadak berubah menjadi lautan kepanikan dan duka pada Senin siang, 12 Mei 2025. Sebuah ledakan hebat mengguncang lokasi pemusnahan amunisi kadaluwarsa yang dilakukan oleh aparat militer. Ledakan itu tak hanya menghancurkan lokasi, tetapi juga merenggut 13 nyawa: sembilan warga sipil dan empat personel TNI.
Namun di balik tragedi kelam itu, tersimpan sebuah kisah menegangkan dan penuh makna, kisah seorang pemuda bernama Anjas Tajudin (26), warga Desa Sancang, yang selamat dari maut dalam detik-detik krusial sebelum ledakan terjadi.
Kegiatan Rutin yang Berujung Bencana
Proses pemusnahan amunisi merupakan bagian dari rutinitas tahunan yang dilakukan oleh TNI untuk mengamankan bahan peledak yang sudah tidak layak pakai. Pada hari itu, seperti biasanya, warga sekitar dilibatkan untuk membantu logistik dan teknis ringan dalam kegiatan yang berlangsung di lokasi terpencil, jauh dari pemukiman warga.
Anjas adalah salah satu warga yang turut membantu. Ia sudah beberapa kali ikut dalam kegiatan serupa, dan hari itu tampak seperti kegiatan rutin lainnya. Proses pemusnahan pun hampir selesai. Namun, tak ada yang menyangka bahwa sisa dari sumur pemusnahan amunisi yang telah digunakan masih menyimpan ancaman tersembunyi.
Perintah Singkat yang Menyelamatkan
Beberapa menit sebelum ledakan, Anjas menerima instruksi dari Komandan Regu (Danru) untuk membawa tutup peti amunisi dan menjauh dari titik pemusnahan. Tanpa banyak tanya, ia segera bergerak mengikuti perintah tersebut.
“Pas saya disuruh bawa tutup peti, saya langsung jalan menjauh. Belum terlalu jauh, tiba-tiba suara dentuman keras mengguncang bumi,” cerita Anjas dengan suara serak, saat ditemui di Kantor Kecamatan Cibalong, Rabu (14/5/2025).
Ledakan yang terjadi begitu dahsyat. Tanah bergetar, debu mengepul tinggi, dan serpihan pasir serta puing beterbangan ke udara. Orang-orang yang masih berada di sekitar sumur pemusnahan tak sempat menyelamatkan diri. Mereka terjebak dalam radius ledakan dan menjadi korban seketika.
Selamat, Tapi Tak Luput dari Trauma
Anjas berada pada jarak yang cukup aman saat ledakan terjadi. Meski begitu, ia tetap terkena imbas dari debu dan serpihan tanah yang beterbangan. Yang lebih menghantui, adalah pemandangan mengenaskan yang ia saksikan dengan mata kepala sendiri.
“Tanah, pasir, dan potongan tubuh teman-teman saya menimpa saya,” ujarnya perlahan, menahan emosi. Ia tak bisa melupakan wajah-wajah rekan yang sehari-hari bersamanya, kini tak bernyawa karena berada terlalu dekat dengan titik ledakan.
Meskipun Anjas tidak mengalami luka fisik serius, luka batin dan trauma yang ia rasakan tak kalah mendalam. Ia selamat, namun harus menanggung rasa kehilangan yang luar biasa atas teman-temannya yang gugur dalam tragedi tersebut.
Misteri Ledakan Susulan
Menurut informasi dari pihak TNI, proses pemusnahan utama telah selesai dilakukan. Namun, ledakan susulan terjadi dari salah satu sumur yang semestinya sudah dinyatakan aman. Diduga, masih terdapat sisa bahan peledak yang tidak terdeteksi atau terjadi kelalaian teknis dalam pengamanan.
Hingga kini, penyelidikan masih dilakukan untuk mengungkap penyebab pasti ledakan.
Dugaan sementara mengarah pada kesalahan prosedur atau kegagalan sistem deteksi amunisi aktif yang tersisa di dalam sumur.
Lokasi kejadian telah disterilisasi dan dijaga ketat oleh personel TNI. Sementara itu, para korban yang meninggal telah dievakuasi ke RSUD Pameungpeuk dan dimakamkan di kampung halamannya masing-masing dengan prosesi militer dan penghormatan dari warga.
Pelajaran dari Tragedi
Kisah Anjas menjadi sorotan dan pembelajaran penting bagi semua pihak. Bahwa dalam situasi penuh risiko seperti ini, disiplin dan kepatuhan terhadap instruksi bisa menjadi penentu antara hidup dan mati. Namun lebih dari itu, tragedi ini juga menyisakan pertanyaan mendalam tentang standar keselamatan dalam kegiatan militer yang melibatkan warga sipil.
“Saya ikut karena ingin membantu. Saya selamat karena mengikuti perintah. Tapi saya tak bisa melupakan mereka yang tidak sempat,” ucap Anjas dengan mata yang masih sembab.
Bagi warga Desa Sagara dan keluarga korban, peristiwa ini adalah luka yang dalam. Mereka tak pernah menyangka bahwa kegiatan yang dianggap aman dan terorganisir, justru berubah menjadi tragedi paling kelam dalam sejarah desa mereka.
Kini, masyarakat berharap agar ada evaluasi menyeluruh dan transparan dari pihak militer. Keterlibatan warga sipil dalam kegiatan berisiko tinggi harus ditinjau ulang, agar kejadian serupa tak lagi terulang di masa depan. (*)