
Oplus_131072
Garut,Ruangrakyatgarut.id – Sudah dua tahun berlalu sejak Radit, aktivis sosial dan pemerhati lingkungan di Garut, menyampaikan proposal pemberdayaan lingkungan kepada Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS). Namun, yang ia dan komunitasnya dapatkan hanyalah keheningan. Kekecewaan pun memuncak ketika berbagai upaya komunikasi yang mereka lakukan tak berbuah hasil nyata.
Radit yang telah aktif lebih dari satu dekade dalam isu kemanusiaan dan pelestarian alam, menggagas program konservasi air dan penghijauan di kawasan rawan kekeringan yang juga merupakan kantong kemiskinan di Garut.
Melalui pendekatan berbasis masyarakat, program ini bertujuan menumbuhkan kesadaran lingkungan sekaligus memperkuat ketahanan sosial ekonomi warga.
Lengkap dan Sesuai Prosedur, Tapi Diabaikan
Proposal yang diajukan pada awal 2023 itu disusun secara sistematis, dengan rincian anggaran, studi kebutuhan, dan dukungan tokoh masyarakat setempat. Namun, respons dari BAZNAS tak kunjung datang. Radit dan timnya telah berulang kali mengirim email, menelepon, hingga mendatangi langsung kantor lembaga tersebut, semuanya tanpa kejelasan.
“Janji-janji sedang diproses itu seolah menjadi tameng abadi. Tapi kami tidak melihat ada niat baik untuk merespons secara resmi,” ujarnya saat ditemui di lokasi penghijauan komunitasnya di Cibiuk. Jum’at, (23/05/2025).
Diperhatikan Setelah Sorotan Publik
Perubahan mulai tampak ketika salah satu anggota DPRD Garut mengangkat kasus ini dalam forum publik yang kemudian viral di media sosial. Baru setelah itu BAZNAS mengirim tim untuk meninjau lokasi yang disebutkan Radit. Bagi sang aktivis, langkah tersebut terasa seperti reaksi defensif, bukan komitmen sejati.
“Apakah memang harus viral dulu baru dianggap penting? Kalau begitu, apa kabar proposal-proposal lain yang sunyi di laci birokrasi?” tanyanya.
Zakat: Investasi Sosial, Bukan Sekadar Bantuan Sesaat
Radit menyoroti paradigma yang menurutnya keliru: zakat kerap dipahami sebatas bantuan konsumtif, padahal potensinya jauh lebih besar sebagai alat pemberdayaan. Program seperti yang ia usulkan tidak hanya menjawab isu lingkungan, tapi juga memperkuat masyarakat menghadapi kemiskinan struktural.
“Kalau kita dukung masyarakat menanam pohon dan mengelola air, kita sedang menanam keberdayaan. Zakat bisa menjadi benih perubahan sosial yang sesungguhnya,” ucapnya.
Birokrasi Kaku, Ruang Aspirasi Tertutup
Kritik juga ia tujukan pada sistem birokrasi yang menurutnya tidak ramah terhadap inisiatif warga. Minimnya transparansi dan lambannya proses penanganan proposal menjadi penghalang besar bagi masyarakat yang ingin berbuat lebih.
“Banyak orang punya gagasan hebat dan semangat kuat, tapi terhenti karena pintu akses ditutup oleh prosedur yang berbelit dan tidak peka,” katanya.
Menunggu Tindak Lanjut, Menolak Menyerah
Meski kecewa, Radit tetap optimis. Ia berharap situasi ini menjadi pemicu perubahan sistemik di tubuh BAZNAS dan lembaga zakat lainnya. Transparansi, kemitraan sejajar, serta sistem yang lebih terbuka menurutnya menjadi kebutuhan mendesak.
“Saya tidak menuntut keistimewaan. Saya menuntut keadilan untuk semua warga yang ingin membangun,” pungkasnya.
Kini, komunitas Radit masih menunggu tindak lanjut nyata dari BAZNAS. Mereka tetap bekerja, menanam bibit dan harapan untuk lingkungan yang lebih lestari dan masyarakat yang lebih kuat dari akar. (Vik)