
Garut,RuangRakyatGarut.id – Pengamat infrastruktur dan lingkungan, Widiana Safaat, mengkritik keras pola penanganan dan kebijakan lingkungan di Kabupaten Garut yang dinilainya telah gagal mencegah terulangnya bencana banjir. Ia menyatakan bahwa banjir yang hampir setiap tahun melanda wilayah Garut bukanlah fenomena alamiah semata, melainkan akibat dari kesalahan tata kelola ruang dan kebijakan pembangunan yang tidak berpihak pada keberlanjutan lingkungan.
“Bencana itu bukan takdir. Banjir Garut adalah produk kebijakan yang gagal. Ini hasil dari akumulasi kesalahan dalam mengelola alam, ruang, dan masyarakatnya. Jika ini tidak dihentikan, Garut akan terus menjadi langganan bencana,” tegas Widiana, yang saat ini menjabat sebagai Ketua Yayasan Gerakan Cimanuk Waluya, Anggota TKPSDA WS Cimanuk-Cisanggarung, serta Ketua HKTI Kabupaten Garut.
Kegagalan Kolektif dalam Tata Kelola Lingkungan
Menurutnya, berbagai banjir besar yang pernah terjadi di Garut – mulai dari banjir bandang Sungai Cimanuk pada tahun 2016 hingga banjir musiman di wilayah selatan seperti Pameungpeuk, Cikelet, dan Cibalong merupakan indikator bahwa tata kelola lingkungan belum menyentuh akar masalah.
Di sisi lain,Widiana mengungkapkan bahwa lemahnya pengendalian terhadap alih fungsi lahan, minimnya rehabilitasi daerah aliran sungai (DAS), serta eksploitasi wilayah hulu menjadi penyebab utama banjir semakin sering dan parah.
“Setiap tahun kita sibuk bicara evakuasi, dapur umum, dan bantuan logistik. Tapi tidak pernah ada keseriusan menyentuh hulunya. Padahal dari sanalah bencana ini dimulai. Sungai tidak lagi mampu menampung air karena ruang resapnya hilang,” jelasnya.
Ia menyebut kebijakan pembangunan selama ini terlalu fokus pada infrastruktur fisik tanpa mengindahkan keseimbangan ekologis. “Bendungan dibangun, tanggul ditinggikan, tapi hulu terus rusak. Itu ibarat menyeka air tanpa menutup kran,” tambahnya.
Tata Ruang yang Rusak dan Regulasi yang Lemah
Widiana juga menyoroti buruknya pengawasan dalam implementasi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) di Garut. Ia menyebutkan bahwa banyak lahan kritis di daerah hulu yang seharusnya dilindungi justru beralih fungsi menjadi perkebunan monokultur atau permukiman, baik legal maupun ilegal.
“Pemda tahu kawasan lindung mana yang rusak, tapi pembiaran terus terjadi. Padahal konsekuensinya sangat serius. Masyarakat di hilir yang menjadi korban. Ini adalah bentuk ketidakadilan ekologis,” tegasnya.
Selain itu, ia menyoroti lemahnya penegakan hukum lingkungan dan minimnya koordinasi antarinstansi, baik di tingkat kabupaten, provinsi, maupun pusat.
“Koordinasi antar lembaga sangat lemah. Tidak ada integrasi antara Dinas Lingkungan Hidup, Dinas PUPR, BPBD, dan sektor kehutanan. Semua berjalan sendiri-sendiri,” kritiknya.
Menuntut Reformasi Ekologis dan Keterlibatan Publik
Widiana Safaat menyerukan adanya reformasi ekologis menyeluruh di Kabupaten Garut. Ia menekankan bahwa penanggulangan banjir tidak bisa lagi menggunakan pendekatan parsial dan reaktif, melainkan harus berbasis data, berbasis masyarakat, dan mengedepankan keberlanjutan jangka panjang.
“Yang dibutuhkan bukan lagi proyek seremonial atau tanggap darurat saat musim hujan datang. Kita butuh komitmen politik, regulasi yang berpihak pada lingkungan, dan pelibatan masyarakat dalam pengawasan serta pengelolaan DAS,” ujarnya.
Ia juga mendorong pemerintah membuka ruang kolaborasi yang luas dengan akademisi, komunitas sipil, dan organisasi lingkungan. “Pemerintah tidak bisa bekerja sendiri. Tapi juga tidak boleh alergi pada kritik dan gagasan dari masyarakat. Ini soal masa depan bersama,” katanya.
Krisis yang Bisa Dicegah
Sebagai Ketua HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia) Kabupaten Garut, Widiana juga menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara kebutuhan pertanian dan kelestarian lingkungan. Ia mengajak para petani agar beralih ke pola pertanian konservatif dan ramah lingkungan, terutama di wilayah rawan longsor dan banjir.
“Petani bukan musuh lingkungan. Mereka adalah bagian dari solusi jika diberi pendampingan dan insentif untuk menjaga alam. Tapi selama ini mereka justru sering dikorbankan oleh kebijakan yang tak berpihak,” pungkasnya.
Alarm Ekologis Sudah Berbunyi
Pernyataan Widiana Safaat menjadi pengingat penting bagi seluruh elemen masyarakat dan pemerintah, bahwa bencana bukan semata kehendak alam. Ia adalah sinyal dari ekosistem yang rusak akibat ulah manusia sendiri.
Tanpa perubahan serius dalam cara pandang dan pengelolaan lingkungan, Garut akan terus terjebak dalam siklus bencana yang berulang.
“Jika kita tak segera berubah, maka banjir berikutnya bukan soal ‘jika’, tapi soal ‘kapan’,” tandasnya. (**)