
Garut,Ruangrakyatgarut.id – Di atas panggung megah, para pejabat tertawa. Di bawah tenda VIP, musik meriah mengiringi jamuan makan siang. Tapi di luar pagar, di antara kerumunan rakyat yang berdesak-desakan demi sebungkus nasi kotak, tiga nyawa melayang dua warga sipil dan seorang aparat kepolisian.
Sementara tragedi ini bukan sekadar kecelakaan, ini adalah potret menyakitkan tentang kekuasaan yang hilang rasa, pesta yang kehilangan nalar, dan rakyat yang kembali dijadikan korban.
Peristiwa memilukan itu terjadi dalam rangkaian pesta pernikahan anak seorang pejabat penting di lingkungan pemerintahan Jawa Barat, yang digelar besar-besaran dengan dalih “syukuran rakyat.”
Namun di balik istilah populis itu, tersembunyi realita pahit: kurangnya pengamanan, buruknya manajemen kerumunan, dan nihilnya tanggung jawab sistemik dari para penyelenggara.
Eldy Supriadi: Ini Bukan Musibah, Ini Kejahatan yang Ditutupi Tenda
Salah satu tokoh publik yang paling vokal dalam menyikapi tragedi ini adalah Eldy Supriadi, pemilik media Ruangrakyatgarut.id dan tokoh penggerak diskusi publik melalui komunitas WhatsApp Ruang Rakyat Garut (RRG). Dalam pernyataannya kepada redaksi, Eldy tidak menahan kemarahan.
“Ini bukan musibah yang datang tiba-tiba. Ini adalah buah dari perencanaan yang cacat, pesta yang digelar dengan arogansi, dan pengabaian total terhadap aspek keselamatan publik,” tegas Eldy, Selasa, (22/07/2025).
Ia menambahkan bahwa pesta yang diklaim untuk rakyat itu justru menjadikan rakyat sebagai tumbal. Alih-alih diatur dengan sistematis, ribuan warga yang hadir dibiarkan berjejalan, berebut makanan, tanpa jalur keluar masuk yang jelas, tanpa protokol keselamatan yang memadai.
“Bripka Cecep Saepul Bahri gugur saat bertugas, terhimpit dalam kerumunan yang tak terkendali. Ia adalah korban, bukan hanya dari kerusuhan, tapi dari sistem yang menempatkan aparat sebagai perisai, bukan sebagai manusia yang harus dilindungi,” kata Eldy.
Ironi yang Membunuh: Rakyat Berebut Nasi, Elit Duduk di Kursi Empuk
Tragedi ini memunculkan kontras sosial yang mencolok. Sementara tamu VIP duduk nyaman di tenda tertutup pendingin udara, dengan sajian istimewa, warga diminta berdiri berjam-jam, tanpa fasilitas, tanpa koordinasi, hanya untuk mendapat nasi kotak.
“Mereka menggelar pesta mewah di atas penderitaan rakyat. Rakyat diundang, tapi hanya untuk jadi pelengkap kemeriahan. Ketika ada yang mati, mereka hanya kirim karangan bunga,” sindir Eldy dengan getir.
Pihak keluarga korban, hingga kini belum menerima kompensasi yang layak. Bripka Cecep memang telah mendapat penghargaan anumerta, tapi apakah itu cukup mengganti kehilangan nyawa?
Pertanyaan-Pertanyaan yang Tak Boleh Dibiarkan Menggantung
Eldy dan komunitas RRG merumuskan sejumlah pertanyaan kritis yang mereka anggap wajib dijawab oleh penyelenggara, aparat, hingga pemerintah daerah:
Siapa penyelenggara teknis acara ini? Apakah panitia berasal dari unsur ASN, swasta, atau gabungan?
Apakah izin acara sudah sesuai prosedur? Siapa yang menandatangani izin keramaian dan siapa yang bertanggung jawab atas distribusi konsumsi?
Apakah penggunaan aparat, kendaraan dinas, dan logistik negara sah secara aturan? Atau ada indikasi penyalahgunaan fasilitas publik untuk hajatan pribadi?
Bagaimana SOP pengamanan ditetapkan? Kenapa petugas dibiarkan tanpa perlindungan di tengah kerumunan?
Apa langkah hukum terhadap kelalaian ini? Siapa yang harus bertanggung jawab secara hukum dan moral?
Publik Tak Akan Diam, Media Akan Terus Suarakan
Ruangrakyatgarut.id sebagai media lokal yang independen menyatakan tidak akan membiarkan kasus ini tenggelam dalam rutinitas dan lupa. Eldy memastikan bahwa media dan masyarakat sipil akan terus mengawal:
Proses investigasi dari kepolisian dan lembaga pengawas internal.
Transparansi penggunaan anggaran dan fasilitas negara.
Evaluasi menyeluruh terhadap sistem perizinan dan pengamanan acara besar.
Permintaan maaf terbuka dari pihak penyelenggara kepada masyarakat yang ada di Kabupaten Garut.
“Ini bukan hanya tentang korban. Ini tentang masa depan. Jika kita diam hari ini, besok akan ada pesta lain yang kembali makan korban. Maka media, masyarakat sipil, dan rakyat tidak boleh diam,” tegas Eldy.
Tragedi Ini Harus Jadi Titik Balik
Kematian tiga orang dalam sebuah pesta bukanlah hal biasa. Ini alarm keras bahwa sistem kita sedang sakit. Bahwa pesta elite, di tengah penderitaan rakyat, bukan lagi soal estetika, tapi soal etika.
Pemerintah daerah Garut, aparat kepolisian, dan seluruh pemangku kepentingan harus berhenti menutupi tragedi ini dengan narasi-narasi ringan. Harus ada keberanian mengakui kesalahan, mengevaluasi, dan menghukum bila perlu.
“Jika perlu, Komnas HAM dan Ombudsman turun tangan. Karena ini bukan sekadar pesta. Ini soal nyawa. Dan nyawa tak bisa dikompensasi dengan pidato duka,” pungkas Eldy.
Panggung yang Menelan Nyawa
Garut tengah berduka. Tapi lebih dari itu, Garut tengah marah. Masyarakat menuntut keadilan, bukan belas kasihan. Media akan terus bersuara, bukan demi sensasi, tetapi demi memastikan bahwa tiga nyawa yang gugur tidak mati sia-sia.
Rakyat bukan pelengkap pesta. Rakyat adalah pemilik tanah ini. Dan darah mereka yang tumpah tak boleh dibiarkan kering begitu saja. (*)