
Oplus_131072
Garut, RuangRakyatGarut.id – Di tengah semangat pembangunan yang terus digaungkan pemerintah daerah, kisah memilukan datang dari sebuah sudut hunian sederhana di Kabupaten Garut. Juju Juariah, seorang ibu paruh baya, hidup dalam keterbatasan bersama anaknya di rumah yang jauh dari kata layak huni. Alamatnya di Perum Jati Putra Asri Blok A2 Nomor 18, RT 04 RW 07, Desa Cibunar, Kecamatan Tarogong Kidul, Kabupaten Garut, Jawa Barat menyimpan kenyataan pahit yang tak banyak diketahui publik.
Bangunan rumah yang mereka tempati nyaris roboh. Atap bocor di sana-sini, tembok rapuh, dan lantai yang tergenang saat hujan datang menjadi saksi bisu perjuangan mereka. Alih-alih tempat berlindung, rumah itu lebih menyerupai perangkap penderitaan. Namun, bagi Juju dan anaknya, itulah satu-satunya tempat untuk berteduh—rumah yang menjadi saksi harapan yang perlahan memudar.
Hanya Pasrah dan Berdoa
“Saya hanya bisa berdoa. Kami tidak tahu harus mengadu ke siapa lagi,” ujar Juju dengan suara tertahan, matanya berkaca-kaca, saat ditemui wartawan RuangRakyatGarut.id, Minggu (11/05/2025). Ia mencoba tetap tegar di hadapan anaknya yang kini duduk di bangku kelas 3 SMP. Di usia yang seharusnya penuh semangat belajar, sang anak harus berbagi beban hidup dengan ibunya, menanggung kenyataan hidup yang tak seindah cita-cita.
Keseharian mereka jauh dari cukup. Juju tidak memiliki pekerjaan tetap. Sumber penghidupan utama mereka berasal dari kiriman anak pertamanya yang bekerja di Bandung, itu pun tak seberapa. Sementara biaya hidup terus berjalan, dan kebutuhan pendidikan anaknya tidak bisa ditunda.
Upaya yang Terabaikan
Berbagai upaya telah dilakukan Juju agar mendapat bantuan sosial dari pemerintah. Ia telah datang ke kantor desa, menyampaikan langsung kepada RT, bahkan memohon melalui tetangga agar namanya diusulkan dalam daftar penerima bantuan.
Namun semua usaha itu berakhir dengan satu jawaban: “Akan diusahakan.”
“Katanya sudah diajukan ke Kepala Desa, tapi sampai sekarang tidak ada realisasi. Saya bingung, harus bagaimana lagi? Apa menunggu sampai benar-benar tidak punya apa-apa atau rumahnya roboh dulu baru dibantu?” tutur Juju.
Keluhannya bukan tanpa alasan. Dalam kondisi rumah yang rusak berat dan kehidupan serba kekurangan, Juju merasa ada ketidakadilan dalam sistem distribusi bantuan sosial. Ia melihat sendiri warga lain yang dinilainya lebih mampu justru mendapatkan bantuan, sementara dirinya yang hidup dalam keterbatasan tidak tersentuh.
Suara Warga: Sistem Harus Dibenahi
Kondisi Juju bukan hal baru bagi warga sekitar. Beberapa dari mereka turut menyuarakan keprihatinan, bahkan mempertanyakan kinerja aparat desa.
“Kami tahu betul bagaimana kehidupan Bu Juju.
Tapi anehnya, dia belum pernah dapat bantuan apa pun. Seharusnya aparat turun langsung, jangan hanya percaya data di atas kertas,” kata seorang warga yang meminta namanya dirahasiakan.
Keluhan ini membuka tabir lain yang lebih luas: ketimpangan dalam pendataan dan penyaluran bantuan sosial. Banyak warga yang merasa sistem yang ada tidak berpihak pada mereka yang benar-benar membutuhkan.
Seorang aktivis sosial setempat menguatkan hal tersebut. Ia menyatakan bahwa Juju hanyalah satu dari sekian banyak warga miskin yang luput dari pendataan bantuan pemerintah.
“Kami sering temui kasus seperti ini. Warga yang seharusnya masuk daftar penerima justru terlewat. Banyak yang tidak paham prosedur, atau bahkan tak tahu harus ke mana. Akhirnya mereka diam dan menderita dalam sunyi,” katanya.
Pemerintah Masih Bungkam
Hingga berita ini diterbitkan, belum ada tanggapan resmi dari pihak Pemerintah Desa Cibunar maupun Dinas Sosial Kabupaten Garut. Tim RuangRakyatGarut.id telah mencoba menghubungi pihak terkait untuk mendapatkan klarifikasi, namun belum memperoleh respons yang memadai.
Di sisi lain, kondisi Juju terus memburuk. Tidak ada kepastian kapan bantuan datang. Tidak ada jaminan bahwa rumahnya akan direnovasi. Yang ada hanyalah waktu yang terus berjalan, dan harapan yang semakin tipis.
Refleksi untuk Kita Semua
Kisah Juju Juariah bukan hanya sekadar narasi penderitaan seorang ibu dan anak. Ia adalah cermin dari wajah buram kebijakan yang belum menyentuh semua lapisan masyarakat.
Ketika bantuan sosial tidak tepat sasaran, ketika data tidak mencerminkan realita di lapangan, maka yang terjadi adalah ketidakadilan yang dibiarkan hidup bertahun-tahun.
Negara, dalam konteks ini, hadir terlalu lambat, bahkan mungkin tidak hadir sama sekali. Padahal, kehadiran negara seharusnya paling terasa di tengah masyarakat yang paling lemah.
Maka, kisah ini menjadi panggilan bagi semua pemangku kebijakan. Bahwa di balik data dan laporan, ada manusia seperti Juju Juariah yang berjuang dalam diam. Bahwa di balik rapat dan program, ada anak-anak yang tidur dalam rumah bocor dan belajar dalam lapar.
Namun sampai hari ini, Juju dan anaknya masih menanti. Menanti uluran tangan, bukan hanya dari pemerintah, tapi dari siapa saja yang masih memiliki nurani. Sebab bagi mereka, harapan adalah satu-satunya yang belum dirampas oleh keadaan. (*)