
Garut,Ruangrakyatgarut.id – Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Garut kembali menjadi sorotan tajam. Hingga menjelang akhir semester pertama tahun 2025, lembaga legislatif yang seharusnya menjadi representasi suara rakyat ini belum juga memiliki draf kode etik sebagai pedoman kerja dan perilaku anggotanya.
Ketidakhadiran dokumen penting ini memicu kritik dari berbagai pihak, salah satunya datang dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Garut.
Pada Kamis,(22/0/5/2025), Kepala Bidang PPD HMI Garut, Kang Pram, menyampaikan kekecewaannya terhadap DPRD yang dinilai telah mengabaikan kewajiban fundamental sebagai lembaga legislatif. Menurutnya, kondisi ini menunjukkan lemahnya komitmen DPRD Garut dalam membangun sistem kerja yang profesional, transparan, dan berintegritas.
Kritik Pedas untuk Lembaga Legislatif
“Bagaimana mungkin DPRD bekerja tanpa pedoman etik yang jelas? Ini bukan hanya kelalaian administratif, tapi juga bentuk pengabaian terhadap tanggung jawab hukum dan moral mereka sebagai wakil rakyat,” ujar Kang Pram kepada wartawan.
Ia menilai bahwa tanpa kode etik yang berlaku secara institusional, fungsi pengawasan terhadap anggota dewan menjadi timpang. Bahkan, keberadaan Badan Kehormatan DPRD yang seharusnya bertugas menindak pelanggaran perilaku justru kehilangan dasar hukum untuk bertindak.
Kang Pram juga menyoroti aktivitas DPRD yang terkesan lebih sibuk melakukan kunjungan kerja dan studi banding ke luar daerah dibanding menyelesaikan regulasi internal yang lebih mendesak.
“Seolah-olah mereka lebih tertarik memperluas wawasan luar, tapi tidak peduli pada fondasi tata kelola yang harus dibangun di dalam,” tambahnya.
Kode Etik adalah Keharusan, Bukan Pilihan
Dalam pandangan HMI, keberadaan kode etik bukanlah sebuah wacana opsional, melainkan sebuah keharusan yang memiliki landasan hukum kuat. Hal ini ditegaskan melalui berbagai regulasi:
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), Pasal 121 ayat (2), yang menyebutkan bahwa Badan Kehormatan bertugas menegakkan kode etik.
Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2018, Pasal 34, yang mewajibkan setiap DPRD memiliki kode etik sebagai bagian dari tata tertib kelembagaan.
Peraturan Tata Tertib DPRD Tingkat Daerah, yang secara otomatis harus mengacu pada ketentuan nasional di atas.
“Ini jelas. Regulasi nasional mengharuskan semua DPRD di Indonesia memiliki kode etik. Jadi ketika DPRD Garut tidak memilikinya, itu bisa dianggap sebagai bentuk pelanggaran terhadap aturan perundang-undangan,” tegas Kang Pram.
Dorongan Penyusunan yang Inklusif
Tak hanya sekadar mendorong penyusunan, HMI Garut juga mendesak agar prosesnya dilakukan secara partisipatif. Kang Pram menekankan bahwa keterlibatan akademisi, organisasi masyarakat sipil, serta insan pers sangat penting dalam merumuskan nilai-nilai etik yang merefleksikan kebutuhan publik.
“Jangan tunggu ada pelanggaran dulu baru sibuk membuat kode etik. Itu reaktif dan tidak visioner. Kode etik bukan sekadar pemanis birokrasi, melainkan fondasi dalam menegakkan kedisiplinan dan tanggung jawab,” ucapnya.
Fungsi Badan Kehormatan Jadi Cacat
Tanpa keberadaan kode etik, menurut Kang Pram, Badan Kehormatan DPRD tidak memiliki kerangka acuan yang kuat dalam menindak pelanggaran anggota. Hal ini menjadikan lembaga pengawasan internal tidak efektif, bahkan cenderung hanya simbolik.
“Bayangkan kalau ada anggota DPRD melakukan pelanggaran etika, tapi tidak ada dokumen resmi yang bisa jadi dasar untuk menindak. Apa yang bisa dilakukan Badan Kehormatan? Ini ibarat polisi tanpa undang-undang,” kritiknya.
Seruan Moral: Bangun Integritas dari Dalam
Menutup pernyataannya, Kang Pram memberikan peringatan keras kepada seluruh anggota DPRD Kabupaten Garut. Ia meminta agar para legislator tidak hanya sibuk mempertontonkan aktivitas luar ruang, tetapi serius membenahi sistem internal yang menentukan kualitas kerja mereka ke depan.
“Jika DPRD ingin dipercaya oleh masyarakat, maka mulailah dari hal paling dasar: miliki dan jalankan kode etik. Tanpa itu, DPRD hanya akan jadi tontonan publik, bukan teladan,” pungkasnya.
Sorotan terhadap DPRD Garut ini menjadi alarm keras bagi seluruh anggota legislatif, bahwa kepercayaan publik bukan datang dari simbol dan seremoni, tetapi dari kesungguhan membangun sistem yang bersih dan bertanggung jawab.
Kode etik bukan hanya tuntutan hukum, tetapi juga cermin moral sebuah lembaga yang lahir dari amanat rakyat. (*)