
Garut,RuangRakyatGarut.id – Di tengah langit malam Garut yang mendung dan suasana yang masih berduka, ratusan umat Islam dari berbagai kalangan berkumpul di Masjid Agung Garut, Kamis malam (24/07/2025). Mereka datang bukan untuk ritual biasa, melainkan membawa satu misi:
Mengirim doa untuk para korban yang meninggal dalam tragedi pesta rakyat yang digelar dalam rangkaian pernikahan Maula Akbar dan Putri Karlina sebuah acara yang berujung maut.
Aliansi Umat Islam Garut memprakarsai kegiatan tahlilan dan doa bersama sebagai bentuk solidaritas dan sikap kemanusiaan. Hadir dalam kegiatan tersebut para ulama sepuh, tokoh masyarakat, dan perwakilan berbagai ormas Islam di Garut. Lantunan Surah Yasin menggema bersama isak tangis, diiringi doa-doa yang menggetarkan hati.
“Kami datang untuk mendoakan para korban, tapi ini juga adalah seruan nurani agar jangan ada lagi rakyat yang jadi korban karena kelalaian penyelenggara dan pembiaran oleh penguasa,” tegas Ceng Aam, tokoh agama Garut yang memimpin pembacaan tahlil.
Duka yang Tak Sekadar Luka
Tragedi pesta rakyat ini bukan hanya soal kehilangan nyawa, tapi juga soal abainya prinsip tanggung jawab dalam menggelar kegiatan publik. Informasi yang beredar luas menyebutkan bahwa kerumunan warga membludak di luar kendali, sementara pengaturan keamanan tidak memadai. Kepanikan terjadi. Nyawa melayang. Luka menganga. Namun yang lebih menyakitkan:
jawaban dan kejelasan masih gelap.
Aliansi Umat Islam Garut menilai, tragedi ini bukan musibah biasa. Ada unsur kelalaian, ada kemungkinan pelanggaran, dan ada rakyat kecil yang menjadi korban.
“Kami minta kasus ini dibuka seterang-terangnya. Jangan ada yang ditutup-tutupi, jangan ada aktor yang dilindungi. Jangan ada ‘tukang celeup’, seperti kata almarhum Kang Ibing: mereka yang cuma muncul di foto tapi cuci tangan soal tanggung jawab!” ujar Ceng Aam dengan nada tinggi dalam sesi wawancara.
Seruan Moral kepada Polri dan Pemerintah Daerah
Lebih lanjut, Ceng Aam mendesak Polda Jabar agar segera mengambil langkah investigatif yang tegas dan transparan. Ia juga menyoroti peran pemerintah daerah yang terkesan diam dan tidak memberi kejelasan kepada publik. Siapa penyelenggara utama? Di mana SOP keamanan? Kenapa bisa ada kerumunan sebesar itu tanpa antisipasi?
“Ini soal nyawa, bukan soal gengsi acara. Kami tidak ingin kasus ini jadi seperti debu yang disapu di bawah karpet. Harus ada penjelasan, harus ada pertanggungjawaban,” tegasnya.
Ceng Aam pun menyerukan agar seluruh elemen masyarakat Garut tidak diam, tapi terus mengawal kasus ini. Tragedi ini harus jadi momen kebangkitan kesadaran bersama: bahwa rakyat bukan komoditas acara, dan nyawa tak boleh digadaikan demi popularitas atau euforia sesaat.
Tahlilan yang Jadi Titik Balik
Acara doa bersama tersebut bukan hanya menjadi forum spiritual, tapi juga menjadi forum moral dan seruan perlawanan atas ketidakadilan. Di akhir kegiatan, para ulama menyampaikan tausiah kebangsaan, menekankan pentingnya pemimpin yang amanah, serta menolak budaya impunitas.
Di sisi lain,para peserta juga kemudian membacakan doa keselamatan bangsa, berharap agar bangsa ini dijauhkan dari pemimpin yang zalim dan aparat yang tidak amanah. Doa mengalir dari hati yang luka, tapi juga dari semangat yang belum padam.
“Jangan biarkan Garut dikenal sebagai tempat di mana nyawa manusia murah,” pungkas salah seorang peserta doa.
Catatan Redaksi:
Peristiwa ini adalah luka kolektif. Setiap korban adalah anak bangsa. Setiap jiwa yang melayang adalah pengingat: bahwa keamanan publik bukan sekadar kewajiban teknis, melainkan tanggung jawab moral yang tidak bisa dinegosiasikan. Rakyat Garut, dan bangsa Indonesia, layak mendapatkan keadilan yang terang bukan sandiwara yang muram. (**)