
Garut,Ruangrakyatgarut.id – Semangat reformasi birokrasi di lingkungan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Garut dinilai terus mengalami degradasi arah dan substansi. Alih-alih menunjukkan kemajuan dalam pelayanan publik dan profesionalisme aparatur sipil negara (ASN), reformasi birokrasi di tubuh Pemkab Garut justru terkesan berjalan zig-zag, sarat kepentingan, dan terjebak dalam permainan kekuasaan.
Kritik pedas kali ini datang dari Andres, seorang aktivis muda Garut yang kerap menyuarakan isu transparansi dan perbaikan tata kelola pemerintahan. Dalam sebuah forum diskusi publik bertajuk “Garut dalam Sorotan Reformasi Birokrasi” . Dia mengatakan, ini diduga telah kehilangan arah dan bahkan dicemari praktik “selingkuh birokrasi” serta budaya balas jasa politik yang akut.
“Apa yang kita lihat hari ini adalah arah reformasi yang terus berubah, tanpa visi yang konsisten. Setiap pergantian jabatan atau mutasi pegawai tidak lagi mencerminkan prinsip meritokrasi. Yang muncul justru aroma transaksional, permainan kekuasaan, dan kepentingan kelompok,” ujar Andres di hadapan para peserta diskusi yang terdiri dari mahasiswa, LSM, dan tokoh masyarakat, Senin (16/06/2025).
Birokrasi Sarat Titipan dan Politisasi Jabatan
Menurut Andres, birokrasi seharusnya menjadi tulang punggung pelayanan publik yang adil, netral, dan profesional. Namun faktanya, belakangan ini banyak posisi strategis yang ditempati oleh figur-figur “titipan” yang tidak melalui proses seleksi yang transparan.
Ada dugaan kuat bahwa jabatan diberikan atas dasar loyalitas, hubungan pribadi, bahkan sebagai bentuk “balas jasa” pasca dukungan politik di masa lalu.
“Ini bukan sekadar soal keluhan ASN yang tak puas karena tak dipromosikan. Ini adalah kerusakan sistemik. Ketika jabatan bisa diperoleh karena kedekatan atau kesetiaan politik, maka yang dirugikan bukan hanya para ASN yang berkinerja, tapi seluruh masyarakat Garut,” lanjut Andres.
Ia juga menyebut bahwa beberapa ASN yang memiliki kualifikasi dan pengalaman justru disingkirkan atau tidak diberi ruang untuk berkembang karena dianggap “tidak sejalan” dengan elite kekuasaan saat ini. Hal ini menimbulkan ketidakpercayaan di kalangan birokrat dan menurunkan semangat kerja.
Sinyal Bahaya bagi Tata Kelola Pemerintahan
Dalam pernyataannya, Andres menyebut istilah “selingkuh birokrasi” untuk menggambarkan praktik kolusi yang melibatkan aktor internal birokrasi dengan pihak luar, termasuk pengusaha dan elite politik. Kerjasama gelap ini, menurutnya, menjadi pintu masuk bagi lahirnya berbagai pelanggaran etika administrasi dan bahkan korupsi.
“Ketika birokrat tidak lagi bekerja untuk publik, tapi untuk menjaga kedekatan dengan penguasa atau untuk kepentingan proyek tertentu, maka kita sedang menghadapi bahaya besar: birokrasi yang dikendalikan bukan oleh aturan, tapi oleh lobi dan transaksionalisme,” tegas Andres.
Ia menambahkan bahwa pergeseran orientasi birokrasi dari pelayanan publik ke arah pencitraan politik juga kian terasa. Banyak program yang digelar bukan karena urgensi kebutuhan rakyat, tetapi lebih untuk membangun panggung kekuasaan tertentu menjelang tahun politik.
Desak Audit Independen dan Transparansi Publik
Menanggapi situasi tersebut, Andres mendesak agar Bupati Garut segera mengambil langkah konkrit dan terbuka terhadap kritik publik. Salah satunya dengan membentuk tim audit independen yang terdiri dari unsur masyarakat sipil, akademisi, dan lembaga pengawas untuk mengevaluasi seluruh proses reformasi birokrasi yang telah berjalan.
“Publik berhak tahu siapa yang dipromosikan, dengan dasar apa, dan apa rekam jejaknya. Jika memang bersih, buka saja ke publik. Tapi jika ada permainan, maka masyarakat juga berhak menuntut pertanggungjawaban,” kata Andres.
Selain itu, ia juga meminta agar laporan capaian reformasi birokrasi yang selama ini disusun oleh bagian organisasi Pemkab Garut dipublikasikan secara terbuka di situs resmi pemerintah daerah. Transparansi ini, menurutnya, adalah langkah awal menuju kepercayaan publik.
Respons ASN dan Pemerintah Daerah
Beberapa ASN yang ditemui secara terpisah mengaku sepakat dengan kritik Andres. Mereka merasa adanya “ketidakadilan struktural” dalam sistem mutasi dan promosi jabatan. Namun karena ketakutan akan tekanan atau dimutasi secara mendadak, sebagian besar memilih untuk diam.
Sementara itu, hingga berita ini diturunkan, belum ada pernyataan resmi dari pihak Bupati maupun Sekretaris Daerah Garut mengenai kritik yang dilayangkan Andres. Humas Pemkab Garut juga belum memberikan tanggapan saat dihubungi oleh wartawan.
Kekhawatiran Akan Masa Depan Reformasi
Kritik Andres ini menjadi cermin keresahan masyarakat, terutama generasi muda, terhadap stagnasi bahkan kemunduran reformasi birokrasi di Garut. Banyak yang menilai bahwa jika kondisi ini dibiarkan tanpa pembenahan yang serius, maka birokrasi akan terus menjadi alat kekuasaan, bukan pelayan rakyat.
“Birokrasi yang seharusnya jadi penopang demokrasi justru akan menjadi penyumbang krisis kepercayaan publik. Saat itu terjadi, maka siapa pun yang berkuasa tak akan mampu membawa perubahan yang sesungguhnya,” pungkas Andres.
Kini, semua mata tertuju pada langkah Pemkab Garut ke depan: apakah akan merespons kritik ini dengan reformasi yang jujur, atau terus bermain dalam lingkaran transaksional yang hanya menguntungkan segelintir elite. Masyarakat Garut tentu berharap yang pertama. Namun, waktu dan ketegasan pemimpinlah yang akan membuktikannya. (*)