
Garut,Ruangrakyatgarut.id – Situasi kepemimpinan dan tata kelola pemerintahan Kabupaten Garut kembali menjadi sorotan. Kali ini datang dari Ketua Perkumpulan Lingkungan Anak Bangsa (LIBAS), Tedi Sutardi, yang menyampaikan kritik keras terhadap arah pembangunan dan keberpihakan pemimpin saat ini. Dalam wawancaranya dengan media. Rabu, (21/05/2025), Tedi menggugat satu pertanyaan mendasar: “Garut milik siapa?”
Menurutnya, apa yang terjadi saat ini di Garut bukanlah pemerintahan yang berpihak pada rakyat, melainkan lebih menyerupai arena pembagian kekuasaan oleh segelintir elite politik yang hanya mengejar posisi dan pengaruh. Tedi menyebut bahwa banyak kebijakan publik yang tidak menyentuh kepentingan masyarakat luas, terutama warga kecil yang saat ini tengah berjuang di tengah tekanan ekonomi yang semakin berat.
“Garut milik siapa hari ini? Lihat saja kenyataan di lapangan. Rakyat semakin terpinggirkan. Kebijakan publik hanya menyentuh golongan tertentu. Kekuasaan dibagikan seperti warisan pribadi, seolah Garut hanya milik mereka yang duduk di kursi kekuasaan,” ujar Tedi dengan nada prihatin.
Ia menggambarkan situasi masyarakat saat ini dengan kalimat pedih: rakyat kecil hanya bisa “menggigit batang kayu dan makan arang”. Ungkapan itu, menurutnya, bukan sekadar kiasan, tetapi realitas pahit dari kesenjangan yang kian lebar antara kebijakan dan kebutuhan.
Tedi juga menyampaikan kritik terhadap birokrasi yang dinilainya semakin elitis dan kehilangan kepekaan sosial. Ia menyebut bahwa berbagai program yang diluncurkan oleh pemerintah daerah lebih banyak berwujud proyek-proyek besar dengan anggaran tinggi, namun tidak memiliki efek langsung yang nyata bagi kesejahteraan masyarakat bawah.
“Bantuan sosial lambat, akses pendidikan tidak merata, lapangan kerja tak diciptakan, dan petani serta pelaku UMKM dibiarkan bertarung sendiri di tengah tekanan pasar. Tapi proyek-proyek besar tetap jalan. Di mana letak keberpihakan itu?” tegasnya.
Tedi menyoroti bahwa suara masyarakat bawah kini nyaris tak lagi didengar. Rakyat hanya dijadikan objek pembangunan, bukan subjek utama. Ia mengingatkan bahwa kekuasaan sejatinya adalah amanah dari rakyat, dan semestinya dijalankan untuk kepentingan rakyat.
“Jika para pemimpin merasa Garut adalah milik mereka sendiri, maka lebih baik mereka mundur. Jangan menunggu rakyat bangkit menyatakan ketidaksepakatan dengan cara mereka sendiri. Jangan sampai rakyat menggetarkan kursi-kursi di DPRD sebagai simbol perlawanan,” ujarnya penuh peringatan.
Lebih lanjut, Tedi mengajak seluruh elemen masyarakat, terutama mereka yang masih memiliki hati nurani di dalam sistem pemerintahan, untuk berani bangkit dan menyuarakan keadilan serta kepentingan rakyat. Ia mengingatkan bahwa kekuasaan bukanlah hak pribadi, melainkan titipan yang bisa dicabut sewaktu-waktu jika disalahgunakan.
“Ini bukan sekadar kritik, ini suara keprihatinan. Kami dari komunitas sosial dan lingkungan menyaksikan sendiri bagaimana getirnya kehidupan masyarakat bawah. Jangan sampai jeritan mereka berubah menjadi gelombang kemarahan yang sulit dibendung,” tambahnya.
Sebagai penutup, Tedi Sutardi menyerukan perubahan arah pembangunan Garut menuju keberpihakan yang lebih nyata kepada rakyat. Ia menekankan bahwa Garut adalah milik seluruh warganya, dan siapa pun yang memimpin harus mampu berdiri di sisi rakyat, bukan di atasnya.
“Garut ini bukan milik satu orang. Bukan juga milik sekelompok elite. Garut milik semua warganya. Maka siapapun yang memimpin, harus berani berdiri di depan rakyat, bukan memerintah dari balik tembok kekuasaan,” pungkasnya.
Pernyataan Tedi ini menjadi sinyal kuat bahwa suara-suara kritis dari elemen masyarakat sipil di Garut terus menguat, sebagai bentuk peringatan bagi para pengambil kebijakan agar kembali pada esensi kepemimpinan: melayani, bukan dilayani. (*)