
Garut,RuangRakyatGarut.id – Persoalan retribusi parkir kembali menjadi sorotan tajam di Kabupaten Garut. Di tengah derasnya arus kendaraan yang setiap hari memadati berbagai titik keramaian, pendapatan asli daerah (PAD) dari sektor parkir justru dinilai stagnan dan tak sebanding dengan potensi riil di lapangan.
Sementara,warga menduga ada kebocoran serius dalam tata kelola retribusi parkir yang berpotensi merugikan daerah hingga miliaran rupiah per tahun.
Salah satu pemerhati kebijakan publik, Andres, menyampaikan kekecewaannya terhadap minimnya transparansi dan pengawasan yang dilakukan pemerintah daerah terhadap sektor parkir. Ia mempertanyakan bagaimana mungkin dengan kepadatan kendaraan yang begitu tinggi di berbagai pusat aktivitas masyarakat seperti di Jalan Ahmad Yani, kawasan Pasar, hingga sekitaran Kantor Pemda PAD dari parkir hanya ditargetkan sebesar Rp1,8 miliar pada tahun 2025.
“Kalau kita bicara data dan logika sederhana saja, seharusnya PAD dari sektor parkir bisa menembus angka Rp2 miliar lebih. Ini sangat matematis. Misalnya, jika satu titik parkir menghasilkan Rp1 juta per hari dan ada 50 titik parkir legal, tinggal dikalikan saja dalam sebulan atau setahun. Maka akan terlihat jelas besaran potensi pendapatan yang seharusnya masuk ke kas daerah,” ujarnya. Selasa,(01/07/2025).
Andres menilai pengelolaan retribusi parkir masih sangat lemah, bahkan cenderung dibiarkan tanpa sistem dan pengawasan yang kuat. Ia menyoroti fakta bahwa parkir liar dan pungutan liar masih banyak terjadi, termasuk di area yang menjadi etalase pemerintahan Garut sendiri.
“Bagaimana masyarakat bisa percaya pada tata kelola pemerintah kalau di halaman kantornya saja masih banyak parkir dan PKL liar? Ini mencerminkan lemahnya pengawasan dan komitmen pemerintah dalam menertibkan ruang publik,” katanya.
Menurutnya, ketidaktegasan ini membuka ruang bagi praktik premanisme yang merugikan masyarakat sekaligus merampas hak daerah untuk mendapatkan pendapatan sah.
Barcode dan Digitalisasi Jadi Solusi
Lebih lanjut, Andres menawarkan solusi konkret untuk memperbaiki sistem retribusi parkir. Ia mendorong Pemerintah Kabupaten Garut untuk segera menerapkan sistem digitalisasi dalam bentuk karcis parkir resmi yang dilengkapi barcode dan terhubung langsung dengan sistem informasi milik Pemda.
“Saya menyarankan penggunaan barcode pada setiap karcis parkir resmi. Ini penting agar bisa dicek keasliannya dan langsung masuk dalam sistem pengawasan. Masyarakat juga bisa mengakses data retribusi secara terbuka jika teknologinya mendukung,” kata Andres.
Namun hingga kini, dirinya mengaku belum melihat kejelasan akses digitalisasi tersebut.
Ia bahkan menilai penggunaan istilah “digitalisasi” hanya jargon kosong karena belum ada sarana konkret seperti aplikasi, website, atau layanan call center yang bisa digunakan masyarakat untuk mengakses informasi retribusi.
“Inilah kenapa saya menduga kuat masih ada kebocoran di sektor retribusi parkir. Kalau aksesnya tidak dibuka, kalau teknologinya tidak disiapkan, lalu ke mana uang parkir itu mengalir?” tandasnya.
Tertibkan Parkir Liar, Negara Tak Boleh Kalah oleh Preman
Andres juga menyinggung pentingnya penertiban juru parkir liar yang selama ini mengambil keuntungan secara ilegal tanpa menyetor sepeserpun ke kas daerah. Menurutnya, pelaku-pelaku tersebut harus diberi edukasi terlebih dahulu, namun jika tetap membandel, penegakan hukum harus menjadi jalan terakhir.
“Kalau kita ingin menegakkan Perda, maka harus tegas. Lakukan sosialisasi, beri tahu titik-titik yang dilarang untuk parkir. Kalau tetap melanggar, angkut saja seperti di Jakarta. Di sana, kalau kendaraan parkir sembarangan, langsung diangkut Dishub dan kena denda. Kenapa Garut tidak bisa begitu?” ujarnya.
Ia juga mengingatkan bahwa negara tidak boleh kalah dengan premanisme dalam bentuk apapun. Mengutip pernyataan Presiden Prabowo Subianto, Andres menegaskan bahwa pemerintah harus hadir dalam menyelesaikan persoalan publik dengan keberanian dan keadilan.
“Kalau negara kalah dengan premanisme, maka masyarakat akan terus kehilangan kepercayaan. Sekali dua kali masyarakat mungkin diam, tapi kalau dibiarkan terus, maka akan muncul mosi tidak percaya terhadap pemerintah,” tegasnya.
Alih Profesi untuk Juru Parkir Ilegal
Selain penertiban, Andres juga menyarankan solusi humanis berupa program alih profesi bagi juru parkir ilegal. Ia meminta Pemerintah Kabupaten Garut, melalui Dinas Koperasi dan UMKM, untuk memberikan pelatihan dan pendampingan kepada para pelaku agar bisa beralih menjadi pelaku usaha mikro yang mandiri.
“Salah satu janji kampanye pasangan bupati-wakil bupati adalah memberikan bantuan untuk startup UMKM mulai dari Rp1 juta hingga Rp50 juta. Ini bisa dimanfaatkan untuk para juru parkir liar agar bisa beralih profesi. Tapi tentu dibarengi dengan pelatihan dan pembinaan,” ujarnya.
Menurutnya, jika juru parkir ilegal diberi kesempatan untuk berkembang lewat jalur UMKM dan tetap menolak, maka tidak ada pilihan lain selain penegakan hukum. Negara, kata Andres, sudah memberikan solusi. Tinggal bagaimana ketegasan implementasinya di lapangan.
Dorong Kepala Dinas Perhubungan untuk Bicara
Di akhir pernyataannya, Andres menantang Kepala Dinas Perhubungan Kabupaten Garut untuk memberikan klarifikasi terbuka kepada publik terkait kondisi riil retribusi parkir, baik dari sisi target, realisasi, maupun tata kelola.
“Kalau tidak ada keterbukaan, maka wajar jika publik curiga. Kami akan terus mendorong agar Dishub memberikan pernyataan resmi. Kalau tidak, maka saya secara pribadi dan juga atas nama kelompok masyarakat akan mempertanyakan hal ini lebih jauh,” tutupnya.
Persoalan parkir ini bukan sekadar soal pungutan seribu-dua ribu rupiah, tapi menyangkut wajah pemerintah daerah dan masa depan keuangan publik. Transparansi, digitalisasi, serta penegakan hukum dan pemberdayaan ekonomi harus menjadi satu paket solusi agar persoalan parkir di Kabupaten Garut tidak lagi menjadi ladang bancakan yang merugikan masyarakat. (*)