
Oplus_0
Garut,RuangRakyatGarut.id – Langit Garut semula cerah, tapi hati ribuan warga kini mendung dan penuh duka. Sebuah perayaan pernikahan mewah yang dikemas sebagai pesta rakyat justru berubah menjadi tragedi kemanusiaan.
Tercatat sementara ada 14 orang luka – luka dan 3 nyawa warga melayang, puluhan. Bukan karena bencana alam, bukan karena serangan musuh, tapi karena kelalaian, arogansi, dan manajemen bobrok dari sebuah acara yang semestinya membahagiakan.
Pesta pernikahan Putri Karlina, Wakil Bupati Garut, dengan Maula Akbar, putra Gubernur Jawa Barat, semula digadang-gadang sebagai simbol bersatunya dua dinasti politik Jawa Barat. Namun, di balik gegap gempita dan panggung megah, rakyat kecil menjadi tumbalnya. Mereka yang datang karena undangan terbuka justru pulang dalam tangisan, luka, bahkan kematian.
Duka yang Terselip di Balik Dentuman Musik dan Sorakan Tamu VIP
Kerumunan membludak di sekitar Alun-Alun Babancong dan Pendopo Garut. Tenda kuliner dari 25 daerah memenuhi lokasi, dihadiri ribuan warga yang ingin merasakan “kebahagiaan bersama” seperti yang dijanjikan. Namun, tak ada sistem keamanan memadai. Tak ada jalur evakuasi. Tak ada pengaturan arus massa. Bahkan, tak ada batas maksimal pengunjung pada . Jum’at, (18/07/2025).
Sekitar pukul 13.30 WIB, situasi berubah kacau. Ribuan orang berdesakan menuju tenda makanan. Jeritan mulai terdengar.
Beberapa tubuh ambruk, terinjak, terhimpit. Di tengah kekacauan itu, nyawa mulai lepas satu per satu. Polisi yang bertugas pun tumbang. Seorang ibu jatuh, diinjak puluhan kaki panik. Seorang kakek pingsan dan tak pernah sadar kembali. Seorang perempuan tua yang hendak mengambil makanan justru berakhir di ruang jenazah RSUD dr. Slamet.
Seorang saksi mata, Erna (41), menggambarkan kengerian itu dengan mata berkaca-kaca:
“Saya di tengah, semua orang dorong. Ibu di depan saya jatuh, saya tidak bisa tolong. Saya sendiri nyaris tak bisa bernapas.”
Panggung Masih Hidup Saat Nyawa Sudah Mati
Yang lebih menyakitkan: ketika tubuh-tubuh rakyat tergolek di tanah, panggung utama masih hidup. Musik masih mengalun. MC masih menyebut nama-nama tamu VIP. Acara tetap berlangsung seolah tidak terjadi apa-apa. Beberapa panitia bahkan terlihat sibuk mengatur barisan pejabat, bukan menyelamatkan korban.
Kebahagiaan elite tetap dijaga. Keselamatan rakyat diabaikan.
Tak Ada Maaf, Tak Ada Rasa Salah
Hingga malam menutup tragedi itu, belum ada satu pun pernyataan resmi dari Pemerintah Kabupaten Garut. Keluarga besar mempelai pun bungkam. Tidak ada klarifikasi. Tidak ada permintaan maaf. Tidak ada empati.
Rakyat yang kehilangan keluarga harus mencari informasi sendiri di rumah sakit, menyisir daftar korban luka, dan mendobrak sunyi dari para penguasa.
Panitia sibuk diam. Pemerintah sibuk menata citra.
Padahal rakyat hanya ingin tahu satu hal: Siapa yang bertanggung jawab atas empat nyawa yang terenggut hari itu?
Tagar dan Amarah yang Meledak di Media Sosial
Di media sosial, ledakan amarah tak terbendung. Tagar #GarutBerduka, #PestaMaut, dan #TragediPendopo menduduki puncak trending. Warganet tak sekadar berduka, tapi menuntut keadilan.
“Ini bukan kecelakaan, ini pembiaran!” tulis akun @garutmelawan.
“Mereka berpesta di atas penderitaan. Jangan biarkan ini lenyap tanpa evaluasi. Tuntut penyelenggara!” seru akun lainnya.
Netizen juga mempertanyakan darimana anggaran pesta sebesar itu berasal, siapa vendor yang ditunjuk, dan mengapa tidak ada simulasi atau mitigasi kerumunan. Mereka melihat ini bukan sebagai insiden teknis, tapi sebagai kegagalan sistemik yang berakar pada kesombongan kekuasaan.
Rakyat Berduka, Elite Bersembunyi
Ironi besar terjadi di Garut hari itu. Ketika rakyat kecil ingin ikut merasakan secuil kebahagiaan dari pesta elite, justru nyawa mereka yang jadi tumbal.
Tidak ada yang mengira bahwa tenda-tenda makanan yang menggoda itu akan berubah menjadi liang kematian.
Tidak ada yang menyangka bahwa di tengah alunan musik dan gegap gempita selebrasi, ada tubuh-tubuh tak bernyawa yang terinjak di bawah kaki rakyat yang panik.
Yang lebih memilukan, pesta ini tetap diingat sebagai sejarah bersatunya dua keluarga pejabat. Tapi sejarah rakyat justru mencatat hari itu sebagai hari di mana nyawa mereka tidak lebih berharga dari nasi liwet gratis dan dekorasi mewah.
Evaluasi atau Impunitas?
Kini rakyat bertanya:
Apakah Bupati Garut akan bersuara?
Apakah Gubernur Jawa Barat akan menegur?
Apakah panitia akan diperiksa?
Ataukah semua akan berlalu begitu saja, ditutup dalam senyap, seperti nyawa yang perlahan hilang dalam himpitan kerumunan?
Garut hari ini berubah menjadi gelap. Tapi bukan karena lampu padam, melainkan karena hati penguasa yang tak menyala oleh nurani.
Catatan Sementara: Kuburan di Tengah Pesta
Catatan sementara ada Empat jenazah itu tak punya jabatan. Mereka bukan kolega pejabat, bukan tamu VIP, bukan bagian dari barisan kehormatan. Tapi mereka punya nama, keluarga, harapan yang kini semua terkubur.
Garut tak butuh pesta besar bila keselamatan diabaikan.
Garut tak butuh simbol elite bila nyawa rakyat tak dihitung.
Dan rakyat tak butuh pejabat yang hanya muncul di atas panggung, tapi hilang ketika tanggung jawab ditagih.
Hari itu, rakyat tak hanya kehilangan nyawa mereka kehilangan kepercayaan. (**)