
Garut,Ruangrakyatgarut.id – Perhutanan sosial kini tidak lagi hanya menjadi diskursus akademik atau program di atas kertas. Di Kabupaten Garut, Jawa Barat, wacana ini telah menjelma menjadi gerakan nyata yang mendorong transformasi ekonomi desa berbasis sumber daya alam berkelanjutan.
Hal itu mengemuka dalam Forum Group Discussion (FGD) bertajuk “Memperkuat Ekonomi Masyarakat Melalui Perhutanan Sosial” yang digelar pada Kamis dan Jumat, 19–20 Juni 2025, di Ruang Rapat Bank Jabar Banten (BJB) Garut, Jalan Ahmad Yani, Kecamatan Garut Kota, Kabupaten Garut, Jawa Barat.
FGD ini diinisiasi oleh Dewan Pimpinan Cabang Gerakan Masyarakat Perhutanan Sosial (DPC Gema PS) Kabupaten Garut yang dinakhodai oleh Ganda Permana, S.H.
Kegiatan tersebut menghadirkan para tokoh penting, di antaranya Prof. Dr. Ir. San Afri Awang, M.Sc., Guru Besar Kehutanan dari Universitas Gadjah Mada yang dikenal luas sebagai pionir gagasan perhutanan sosial di Indonesia; Ketua Umum Gema PS Nasional, Rozikin; serta Ketua DPW Gema PS Jabar-Banten, Acep Sholihudin.
Selain itu, forum juga dihadiri oleh seluruh kepala desa dari berbagai kecamatan di Garut, organisasi masyarakat sipil, serta perwakilan akademisi dan praktisi kehutanan. Kehadiran para pemangku kepentingan tersebut menunjukkan keseriusan daerah dalam menjadikan perhutanan sosial sebagai instrumen kunci pembangunan ekonomi yang adil dan berkelanjutan.
Ganda Permana,S.H.: Perhutanan Sosial Harus Masuk Dapur Warga Desa
Dalam pidato pembukaannya, Ganda Permana,S.H. menekankan bahwa FGD ini bukan sekadar forum diskusi, tetapi ajang konsolidasi pemikiran dan langkah konkret menuju perubahan. Menurutnya, selama ini hutan terlalu lama dipandang sebagai wilayah terlarang bagi masyarakat, padahal hutan justru bisa menjadi ladang penghidupan jika dikelola dengan bijak dan legal.
“Kami ingin mengubah paradigma itu. Hutan bukanlah musuh rakyat, melainkan sumber daya yang harus dikelola rakyat demi kesejahteraan bersama. Maka, perhutanan sosial harus menyentuh dapur warga desa, bukan hanya jadi jargon pemerintah,” tegas Ganda.
Ia juga menyatakan bahwa Gerakan Masyarakat Perhutanan Sosial akan terus mendorong kepala desa dan kelompok masyarakat di Garut untuk memahami dan mengambil peluang yang ada dalam skema perhutanan sosial, terutama melalui koperasi dan kelembagaan desa.
Prof. San Afri: Perhutanan Sosial Bukan Sekadar Program, Tapi Mandat Konstitusi
Pemaparan dari Prof. San Afri Awang menjadi salah satu momen yang paling menyedot perhatian dalam FGD tersebut. Ia menegaskan bahwa perhutanan sosial adalah jalan keluar atas berbagai problem struktural di desa-desa sekitar kawasan hutan.
“Selama ini, pengelolaan hutan dikuasai oleh korporasi besar. Padahal, jika diberikan kepada rakyat secara legal, hutan akan memberikan manfaat ekologis, ekonomis, dan sosial yang jauh lebih besar,” ujar Prof. San.
Ia menekankan bahwa perhutanan sosial bukanlah sekadar kebijakan pemerintah, melainkan amanat konstitusi untuk memberikan akses hidup yang layak kepada masyarakat, khususnya yang tinggal di sekitar hutan.
“Negara harus hadir dalam memberikan hak kelola hutan kepada rakyat, bukan mempersempit ruang hidup mereka,” tambahnya.
Menurut Prof. San, jika dikelola serius, sektor ini berpotensi menciptakan jutaan lapangan kerja hijau dan mendorong pertumbuhan ekonomi desa tanpa merusak ekosistem.
Garut: Potensi Luar Biasa yang Masih Tertidur
Kabupaten Garut memiliki ribuan hektar kawasan hutan produksi dan hutan lindung yang tersebar di berbagai wilayah, mulai dari kaki Gunung Papandayan hingga perbukitan selatan. Sayangnya, potensi ini belum dikelola optimal karena masih minimnya pemahaman masyarakat tentang skema legal pengelolaan hutan.
Acep Sholihudin, Ketua DPW Gema PS Jabar-Banten, menyampaikan bahwa pendekatan koperasi dan agroforestri dapat menghasilkan keuntungan ekonomi miliaran rupiah per tahun, jika difasilitasi dengan baik oleh pemerintah.
“Coba bayangkan, jika ada 1.000 hektar hutan yang dikelola koperasi desa untuk agroforestri menanam pohon, buah, madu, kopi hasilnya bisa menopang ekonomi ratusan keluarga. Tapi kalau legalitasnya rumit dan pemerintah tidak hadir, semua hanya akan jadi wacana,” jelas Acep.
Suara Kepala Desa: Kami Siap Bergerak, Asal Negara Hadir
Dalam sesi diskusi terbuka, para kepala desa dari berbagai pelosok Garut menyampaikan komitmennya untuk mendukung gerakan perhutanan sosial. Namun mereka juga menggarisbawahi tantangan yang selama ini dihadapi, mulai dari proses legalisasi izin kelola hutan yang berbelit hingga minimnya dukungan teknis dan modal dari pemerintah.
“Warga kami siap kerja, siap jaga hutan. Tapi kalau proses legalisasinya ruwet dan anggarannya lambat cair, ya programnya bisa mandek,” ungkap salah satu kepala desa dari Kecamatan Cisewu.
Mereka berharap adanya kemudahan dalam pengurusan izin, pendampingan teknis dari tenaga ahli kehutanan, serta akses permodalan berbasis APBD atau CSR dari BUMD yang beroperasi di Garut.
Rekomendasi Strategis: Dari Forum Menuju Aksi Nyata
FGD ini menghasilkan sejumlah rekomendasi strategis yang ditujukan kepada Pemerintah Kabupaten Garut dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat, antara lain:
Mempercepat proses legalisasi lahan perhutanan sosial, melalui kolaborasi Dinas Kehutanan, Balai Perhutanan Sosial (BPKH), dan Kementerian LHK.
Membentuk Unit Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) berbasis desa yang dikelola koperasi rakyat untuk menjamin kesinambungan dan tata kelola ekonomi desa.
Mengalokasikan anggaran pendampingan teknis dan modal usaha melalui APBD maupun dana CSR dari BUMD.
Mengintegrasikan skema perhutanan sosial dalam RPJMD dan RKPDes, agar menjadi program prioritas pembangunan daerah.
Melibatkan generasi muda desa dalam digitalisasi hasil hutan, pengembangan e-commerce, serta branding dan pemasaran produk-produk hasil hutan.
Menggaungkan Narasi Baru: Hutan Sebagai Solusi, Bukan Masalah
FGD yang berlangsung selama dua hari ini menjadi momentum penting untuk membalik narasi lama soal hutan. Jika sebelumnya hutan dipandang sebagai hambatan pembangunan desa, kini ia dilihat sebagai mitra dalam perjuangan ekonomi rakyat.
“Hutan bukan lagi musuh petani. Ia bisa jadi sahabat ekonomi, kalau pengelolaannya adil dan partisipatif,” pungkas Prof. San Afri Awang dalam penutupan acara.
Di tengah ketimpangan ekonomi dan krisis iklim yang makin nyata, solusi berbasis alam seperti perhutanan sosial bukan hanya menjadi alternatif, tetapi keharusan. Yang dibutuhkan hanyalah kemauan politik untuk berpihak kepada rakyat kecil, serta keberanian para pemimpin desa untuk memulai langkah pertama.
Jika kamu adalah bagian dari pemerintahan desa, penggerak koperasi, atau pemuda desa yang ingin membangun ekonomimu tanpa harus merusak lingkungan, inilah saatnya. Hutan ada untuk dirawat bersama, dan manfaatnya bisa menjadi milik semua. (**)