
Garut,Ruangrakyatgarut.id – Ketua Perkumpulan Lingkungan Anak Bangsa (LIBAS), Tedi Sutardi, menyampaikan kritik keras terhadap arah kebijakan publik yang menurutnya semakin menjauh dari kepentingan rakyat dan keberlanjutan lingkungan hidup.
Dalam pernyataan terbukanya, ia menyebut bahwa banyak kebijakan yang diputuskan justru menjadi penyebab utama kerusakan ekosistem, meningkatnya konflik sosial, serta hancurnya kemandirian masyarakat desa.
“Yang kita hadapi hari ini bukan hanya kerusakan lingkungan biasa, tapi kehancuran sistematis akibat kebijakan yang salah arah. Ini catatan merah yang tidak bisa lagi kita tutupi. Pertanyaannya sederhana: siapa yang bertanggung jawab?” ujar Tedi dalam wawancara melalui sambungan Whatsapp miliknya pada.Minggu, (11/05/2025).
Di sisi lain, Tedi juga mengungkapkan bahwa selama lima tahun terakhir, terjadi gelombang besar kebijakan pembangunan yang hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi jangka pendek, tanpa mempertimbangkan aspek lingkungan dan keberlanjutan. Ia menyebut proyek pembukaan lahan besar-besaran di kawasan Sub DAS Cimanuk sebagai salah satu contoh nyata kegagalan kebijakan publik dalam menjaga keseimbangan ekologis.
“Alih fungsi lahan di daerah resapan air terus dibiarkan. Investor masuk dengan mudah tanpa ada pengawasan ketat. Hutan rakyat ditebang, mata air dikapling, dan saat bencana terjadi, masyarakat hanya diminta bersabar. Di mana keadilan?” katanya geram.
Lebih lanjut, Tedi juga menyinggung praktik penanaman pohon yang dilakukan secara seremonial oleh beberapa pejabat.
Menurutnya, kegiatan tersebut tidak berdampak signifikan terhadap pemulihan lingkungan karena tidak diikuti dengan sistem pengawasan dan perawatan yang jelas.
“Kita lihat sendiri, bibit ditanam hanya untuk difoto, setelah itu dibiarkan mati. Itu bukan solusi, itu pencitraan. Jangan anggap masyarakat tidak melihat semua ini,” tegas Tedi.
Ia juga menyoroti lemahnya transparansi dalam penyusunan kebijakan, terutama yang berkaitan dengan tata ruang, proyek strategis nasional, dan pengelolaan sumber daya alam. Ia mengklaim banyak keputusan diambil di ruang tertutup tanpa partisipasi aktif dari masyarakat terdampak.
“Seharusnya rakyat dilibatkan sejak awal. Tapi yang terjadi justru rakyat hanya jadi penonton atas masa depannya sendiri. Ketika proyek bermasalah, rakyat yang disalahkan karena dianggap menolak pembangunan,” jelasnya.
Tedi menegaskan bahwa dampak dari kebijakan yang keliru tidak hanya dirasakan oleh alam, tapi juga oleh manusia. Ia menyebut peningkatan konflik agraria, banjir bandang, longsor, dan kekeringan sebagai bukti nyata kehancuran akibat kebijakan yang mengabaikan aspek ekologi.
“Lihat saja data konflik lahan yang meningkat setiap tahun. Lihat berapa banyak petani yang kehilangan lahan, berapa desa yang kekurangan air bersih, dan berapa banyak hutan adat yang hilang dalam diam. Ini bukan peristiwa alamiah. Ini hasil dari keputusan politik,” tandasnya.
Sebagai Ketua LIBAS, Tedi menegaskan komitmennya untuk terus mengawal dan mengkritisi setiap kebijakan yang dinilai bertentangan dengan kepentingan lingkungan dan keadilan sosial. Ia juga mendorong penegakan hukum terhadap pejabat atau pihak swasta yang terbukti melanggar ketentuan lingkungan.
“Kita akan terus berdiri di barisan rakyat. LIBAS tidak akan diam. Jika perlu, kami akan tempuh jalur hukum. Negara ini tidak boleh dikendalikan oleh segelintir elite yang hanya mengejar keuntungan pribadi,” tegasnya.
Ia pun mengajak semua elemen masyarakat, termasuk tokoh agama, akademisi, pemuda, hingga kelompok adat untuk bersatu dan membangun kekuatan kolektif dalam mengawal arah pembangunan.
“Jika kita tidak bersuara hari ini, maka generasi mendatang hanya akan mewarisi kehancuran. Ini bukan lagi soal pilihan, tapi soal kewajiban moral kita semua,” pungkas Tedi Sutardi. (*)