
Garut,Ruangrakyatgarut.id – Tragedi memilukan yang terjadi dalam pesta rakyat pernikahan Maula Akbar, putra Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi, dan Luthfianisa Putri Karlina, Wakil Bupati Garut, Jum’at (18/07/2025), menyisakan luka mendalam bagi masyarakat Kabupaten Garut.
Di sisi lain, Alih-alih menjadi syukuran yang membahagiakan, acara tersebut justru menelan korban jiwa dan luka-luka akibat desak-desakan warga yang berebut makanan gratis.
Ketua Gapermas (Generasi Pemberdayaan Masyarakat) Kabupaten Garut, Asep Mulyana, S.Pd.I, angkat bicara atas kejadian memilukan tersebut. Ia menyebut insiden ini sebagai potret nyata dari buruknya manajemen kegiatan yang melibatkan ribuan massa tanpa perhitungan matang, terutama terkait keamanan dan keselamatan.
“Pesta yang Berujung Duka”
Menurut Asep Mulyana, tragedi yang menyebabkan tiga orang meninggal dunia dan setidaknya 14 lainnya luka-luka bukanlah sekadar musibah biasa, melainkan sebuah bentuk kelalaian struktural dalam penyelenggaraan acara oleh pihak panitia dan penyelenggara.
“Ini bukan semata musibah. Ini akibat kelalaian dalam mengelola acara publik dengan baik. Kita sedang bicara tentang nyawa manusia, bukan hanya soal teknis acara,” tegas Asep kepada wartawan, Sabtu (19/07/2025).
Tiga korban jiwa yang tercatat adalah Vania Aprilia (8), warga Sukamentri, Kecamatan Garut Kota; Dewi Jubaedah (61), warga Jakarta Utara; dan Bripka Cecep Saeful Bahri (39), anggota Polres Garut yang tengah bertugas mengamankan lokasi. Selain korban meninggal, lebih dari selusin warga dilaporkan luka-luka dan harus mendapatkan perawatan medis di RSUD dr Slamet Garut.
Panitia dan Pejabat Dinilai Abai
Asep juga mempertanyakan tanggung jawab moral para pejabat yang berada di balik penyelenggaraan acara tersebut. Menurutnya, acara berskala besar yang melibatkan massa dalam jumlah besar seharusnya dilakukan dengan perencanaan matang, bukan sekadar demi pencitraan atau popularitas.
“Ketika rakyat lapar dan datang untuk mendapat makanan gratis, itu bukan pemandangan yang memalukan. Yang memalukan adalah ketika penyelenggara tidak mampu menjamin keselamatan mereka,” ujar Asep.
Ia juga menyoroti bahwa pesta rakyat ini sejatinya dibungkus dalam narasi kesederhanaan dan kebersamaan, namun pelaksanaannya jauh dari prinsip-prinsip kehati-hatian.
“Rakyat datang bukan untuk dipertontonkan kemewahan, mereka datang karena undangan terbuka. Tapi tak ada cukup antisipasi. Tidak ada sistem antrean, tidak ada kontrol arus massa, bahkan petugas pengamanan pun menjadi korban. Ini sangat fatal.”
Desakan Evaluasi dan Penegakan Hukum
Sebagai Ketua Gapermas, Asep Mulyana mendesak Pemerintah Kabupaten Garut dan seluruh pemangku kepentingan untuk segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap standar operasional pelaksanaan kegiatan berskala besar, terutama yang melibatkan tokoh publik.
Lebih jauh, Asep juga mendesak aparat penegak hukum untuk mengusut tuntas pihak-pihak yang patut dimintai pertanggungjawaban atas insiden ini.
“Jangan biarkan nyawa rakyat jadi tumbal kelalaian. Jangan ada lagi pesta rakyat yang menjelma jadi liang kubur bagi warganya. Kami meminta penyelidikan terbuka dan sanksi bagi siapapun yang terbukti lalai,” katanya.
Duka dan Doa untuk Korban
Mengakhiri pernyataannya, Asep Mulyana menyampaikan duka cita yang mendalam kepada keluarga korban dan mendoakan agar peristiwa ini menjadi pelajaran bersama, bukan sekadar momentum belasungkawa yang berlalu begitu saja.
“Kami berdoa untuk almarhum dan keluarga yang ditinggalkan. Semoga kejadian ini membuka mata kita semua bahwa keselamatan rakyat harus selalu menjadi prioritas, bukan sekadar euforia atau kemegahan sesaat,” tutupnya.
Tragedi ini menjadi alarm keras bagi seluruh pemangku kebijakan dan penyelenggara acara publik. Ketika rakyat yang datang untuk bersyukur justru pulang dalam duka, saatnya semua pihak bertanya: siapa yang harus bertanggung jawab? (*)