Ruangrakyatgarut.id 20 November 2025 -Indonesia sedang melakukan eksperimen geopolitik tanpa preseden: memindahkan pusat pemerintahan sejauh 1.200 kilometer sambil tetap mempertahankan jantung ekonominya di Jakarta. Ini bukan sekadar proyek infrastruktur—ini adalah evolusi cara negara berpikir tentang survival.
Oleh: Hanaka Keane Bilal Mi’raj | 7 November 2025
Bayangkan sebuah organisme hidup yang memutuskan untuk memindahkan otaknya ke bagian tubuh lain sambil tetap berfungsi seperti biasa. Kedengarannya mustahil? Namun inilah yang sedang dilakukan Indonesia melalui proyek Ibu Kota Nusantara (IKN).
Pada 2019, pemerintah mengumumkan pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan Timur dengan nilai investasi USD 33 miliar. Dunia tercengang. Namun bila kita meminjam perspektif Friedrich Ratzel—geograf Jerman yang pada 1897 mengibaratkan negara sebagai “organisme hidup”—maka keputusan ini bukan sekadar ambisi megaproyek, tetapi tindakan survival dari sebuah “tubuh” yang sakit.
Jakarta: Organ yang Sekarat
Kita harus jujur: Jakarta bukan hanya macet atau banjir. Ia secara harfiah tenggelam.
DATA: Jakarta ambles 7,5 cm per tahun—tercepat di dunia.
World Bank memproyeksikan sebagian wilayah Jakarta Utara bisa tenggelam pada 2050.
Namun persoalan Jakarta lebih dalam dari sekadar amblesan. Dalam metafora organisme negara, Jakarta mengalami obesitas ekstrem. Dengan luas hanya 0,03% dari total wilayah Indonesia, kota ini menyumbang 17% PDB nasional. Sementara Pulau Jawa—yang hanya 7% luas negara—menampung 56% populasi dan 58% ekonomi Indonesia.
Ini seperti tubuh manusia di mana otak, jantung, dan paru-paru semua menumpuk di satu titik. Satu bencana, satu serangan, dan seluruh sistem lumpuh.
Ini bukan desain sehat. Ini adalah single point of failure.
“Organisme yang sehat memerlukan distribusi nutrisi yang merata. Indonesia sedang sekarat karena satu organ obesitas sementara organ lainnya kelaparan.”
Ratzel Benar, Ratzel Salah
Ratzel berpendapat bahwa negara yang sehat harus terus tumbuh dan memperluas wilayah demi mendapatkan lebensraum—ruang hidup. Tidak tumbuh berarti mati.
Namun Indonesia membuktikan bahwa Ratzel hanya setengah benar.
Kita tidak perlu memperluas wilayah ke luar negeri. Bahkan ketika kita “kehilangan” Timor Timur pada 1999, Indonesia justru menjadi lebih stabil. Yang kita butuhkan bukan penambahan tanah, melainkan penyeimbangan struktur internal.
Ancaman terbesar negara modern bukan invasi eksternal—tetapi ketimpangan internal.
Papua merasa diabaikan. Kalimantan merasa hanya dieksploitasi. Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara merasa menjadi “warga kelas dua” di negara sendiri.
Ratzel gagal membaca bahwa fragmentasi internal jauh lebih mematikan daripada ancaman eksternal.
IKN: Operasi Transplantasi Otak
Pemindahan ibu kota bukan hal baru. Brasil melakukannya (Rio → Brasília), Kazakhstan (Almaty → Astana), Myanmar, Mesir, dan lainnya. Namun IKN berbeda dalam tiga hal penting:
1. Skala
Indonesia adalah negara keempat terbesar di dunia. Ini adalah pemindahan ibu kota terbesar abad modern.
2. Motivasi
Bukan hanya relokasi politik—ini soal survival. Jakarta benar-benar terancam tenggelam.
3. Eksperimen Unik
IKN mencoba memisahkan otak (pemerintahan) dari jantung (ekonomi).
Jakarta tetap pusat bisnis, IKN jadi pusat politik.
Model seperti ini belum pernah dicoba di jarak 1.200 km.
DATA: 3 Tujuan IKN
1. Survival – menyelamatkan pemerintahan dari risiko geologis Jakarta.
2. Rebalancing – distribusi ekonomi ke luar Jawa.
3. Unity – memperkuat identitas Nusantara dan meredam potensi fragmentasi.
Geopolitik Anatomis: Paradigma Baru
Dari IKN, lahir paradigma baru yang saya sebut Geopolitik Anatomis:
strategi negara untuk merekayasa ulang struktur internalnya demi meningkatkan resiliensi dan keseimbangan.
Perbedaan dengan geopolitik klasik:
Geopolitik Klasik (Ratzel) Geopolitik Anatomis (IKN)
Fokus pada ekspansi luar Fokus pada optimalisasi dalam
Metrik: luas wilayah Metrik: efisiensi, keseimbangan
Strategi: membesarkan tubuh Strategi: menyusun ulang tubuh
Paradigma ini relevan untuk negara-negara dengan ibu kota yang “sakit”: Manila, Delhi, Dhaka, Lagos. Indonesia mungkin menjadi model baru.
Risiko yang Tak Boleh Diabaikan
IKN adalah proyek berisiko tinggi. Beberapa ancaman nyata:
Pembiayaan besar, investor swasta masih berhitung.
Resistensi ASN yang enggan pindah.
Risiko IKN menjadi kota hantu jika komitmen politik berubah setelah pemilu.
Risiko ekologis: deforestasi Kalimantan, ancaman terhadap habitat orangutan.
Risiko sosial: masyarakat adat Dayak terpinggirkan.
Jika tidak hati-hati, “terapi” ini malah menciptakan penyakit baru.
Pertanyaan fundamentalnya: “Bisakah otak bekerja optimal jika terlalu jauh dari jantung? Apakah tubuh Indonesia akan menerima atau menolak organ barunya?”
Kesimpulan
IKN bukan sekadar proyek infrastruktur. Ia adalah pernyataan filosofis tentang bagaimana sebuah bangsa memahami dirinya sebagai organisme hidup: rentan, namun berani. Indonesia sedang bereksperimen—bahkan bertaruh—pada sebuah langkah radikal untuk menyelamatkan masa depannya.
Apakah operasi ini berhasil? Hanya sejarah yang dapat menjawab.
Namun keberanian Indonesia untuk “memindahkan otaknya” membuka babak baru dalam geopolitik: era di mana negara tidak sekadar tunduk pada geografi—tetapi mampu merekayasa ulang dirinya.
Ratzel pernah berkata bahwa negara adalah organisme yang terikat pada tanah.
IKN menunjukkan bahwa negara modern tidak hanya terikat—ia dapat berevolusi.
