
Garut, Ruangrakyatgarut.id – Harapan akan kehidupan yang lebih layak setelah diangkat sebagai Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K) sirna seketika, saat realitas pahit menyambut gaji ke-13 yang tak sesuai harapan.
Seperti halnya Usep Budi, seorang P3K di Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Garut, Jawa Barat mengungkapkan kekecewaannya saat mengetahui besaran gaji ke-13 yang akan dia terima hanya Rp500 ribu. Angka ini bahkan tak cukup untuk menutup kebutuhan dasar satu minggu.
“Ini sangat ironi, karena yang kami terima bahkan belum setengah dari upah layak hidup. Hanya 500 ribu, dan ada yang belum di terima sama sekali,” ucap Usep dengan nada getir saat ditemui Senin (16/06/2025).
Sementara hal ini juga datang berbarengan dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2025, aturan yang disebut sebagai penyempurna dari PP 49 Tahun 2018 terkait manajemen P3K. Alih-alih membawa angin segar, regulasi baru ini justru dianggap memperkuat ketimpangan perlakuan antara PNS dan P3K, terutama dalam hal penghasilan.
P3K: Tugas Sama, Gaji Tak Sama
Dalam kesehariannya, Usep mengaku mengerjakan pekerjaan penuh waktu, seringkali melampaui jam kerja normal. Namun, penghasilannya diperlakukan berdasarkan masa kerja honorer sebelumnya, bukan kontribusi aktual yang ia berikan.
“Saya kerja penuh. Bahkan kalau ada kerja yang di luar jam kantor, saya hadir. Tapi tetap dianggap seperti tenaga cadangan. Ini sangat menyakitkan,” ujarnya.
Situasi ini tak hanya menimpa dirinya saja. Banyak P3K di beberapa sektor. Seperti di kesehatan, dan pelayanan teknis lainnya di Kabupaten Garut mengalami hal serupa.
PP 11 Tahun 2025: Janji Kesejahteraan atau Alat Pembatas?
PP 11 Tahun 2025 yang disambut sebagai bentuk reformasi birokrasi justru menjadi ganjalan bagi para P3K. Dalam praktiknya, aturan ini menempatkan P3K dalam posisi rentan: beban kerja setara, tapi hak dan penghargaan jauh berbeda dibandingkan PNS.
Usep menilai pemerintah daerah tidak cukup hanya berlindung di balik aturan pusat. Ia menegaskan bahwa kepala daerah, dalam hal ini Bupati Garut, memiliki ruang kebijakan untuk memberikan insentif atau tunjangan tambahan.
“Beberapa daerah seperti Banyumas dan Samarinda memberikan tunjangan kinerja, bahkan subsidi transportasi. Di Garut, jawabannya selalu ‘tidak ada anggaran’,” kata Usep.
Dampak Jangka Panjang: Krisis Semangat Pelayanan
Minimnya perhatian terhadap kesejahteraan P3K dikhawatirkan akan berdampak serius terhadap kualitas pelayanan publik. Usep mengungkapkan bahwa mulai banyak rekan seprofesinya yang kehilangan motivasi, bahkan mempertimbangkan untuk mundur.
“Kalau semua mundur, siapa yang akan mengajar anak-anak, siapa yang menjaga kebersihan kota, siapa yang melayani masyarakat di puskesmas? Ini bukan hanya soal gaji, ini soal keberlangsungan pelayanan masyarakat,” ujarnya.
Seruan Terbuka untuk Pemerintah Daerah
Di akhir wawancara, Usep menyerukan agar Pemkab Garut segera menginisiasi dialog terbuka antara pemerintah daerah dan perwakilan P3K. Ia menegaskan bahwa P3K bukan sekadar status kepegawaian, melainkan bagian penting dari roda pemerintahan daerah.
“Kami bukan menuntut kemewahan. Kami hanya ingin dihargai sebagai manusia yang bekerja dan mengabdi untuk negara. Jika gaji ke-13 itu tak bisa ditambah, minimal ada pengakuan dan langkah nyata dari pemerintah,” pungkas Usep. (*)