
Ruangrakyatgarut.id Jakarta, 18 September 2025 – Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) menyoroti pemberitaan terbaru terkait indikasi ribuan dapur Makan Bergizi Gratis (MBG) yang terdeteksi fiktif serta rendahnya serapan anggaran program tersebut. HIPMI menilai kondisi ini menunjukkan adanya masalah serius dalam sistem verifikasi dan tata kelola program yang perlu segera diperbaiki.
Sekretaris Jenderal BPP HIPMI, Anggawira, menegaskan bahwa program MBG merupakan salah satu agenda strategis Presiden Prabowo Subianto untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Karena itu, setiap hambatan dalam pelaksanaan harus segera diatasi dengan solusi konkret.
“Indikasi dapur fiktif ini bukan hanya merugikan negara, tetapi juga menghambat tujuan besar MBG untuk meningkatkan gizi anak bangsa. Ditambah lagi, serapan anggaran yang rendah memperlihatkan adanya bottleneck dalam sistem. HIPMI mendorong pemerintah untuk segera melakukan perbaikan menyeluruh, termasuk digitalisasi verifikasi dan transparansi data,” ujar Anggawira.
HIPMI menekankan sejumlah hal yang perlu segera diperbaiki, antara lain:
1. Keterbukaan informasi terkait jumlah titik dapur yang benar-benar dibutuhkan di setiap wilayah kabupaten/kota. Hal ini penting agar perencanaan dan realisasi sesuai kebutuhan riil di lapangan.
2. Pengendalian penentuan lokasi dapur, karena saat ini banyak pihak menitik lokasi tanpa ada keseriusan membangun dan mengoperasikan dapur, sehingga memunculkan potensi fiktif dan tumpang tindih.
3. Pembagian zonasi sekolah penerima manfaat yang belum diatur dengan baik, sehingga sering terjadi gesekan antar dapur yang sudah siap beroperasi. Aturan zonasi diperlukan untuk memastikan pemerataan distribusi dan menghindari konflik.
4. Penguatan supply chain bahan baku, sebab banyak dapur mengalami kesulitan dalam memastikan pasokan pangan yang stabil, terjangkau, dan berkualitas. Keterlibatan petani, UMKM pangan, serta sektor logistik lokal menjadi kunci agar suplai bahan baku berjalan lancar dan efisien.
5. Belum adanya kantor permanen BGN di tingkat kabupaten/kota, sehingga muncul kebingungan dari berbagai pihak dalam menyelesaikan masalah di lapangan. Keberadaan kantor permanen di daerah penting sebagai pusat koordinasi, pengawasan, dan penyelesaian aduan.
HIPMI menilai, jika masalah-masalah mendasar ini tidak segera diselesaikan, maka tujuan mulia MBG berisiko tidak tercapai maksimal. Padahal, dengan melibatkan pelaku usaha lokal—mulai dari petani, UMKM pangan, hingga sektor logistik—program ini bisa menjadi motor penggerak ekonomi daerah sekaligus meningkatkan kualitas gizi anak bangsa.
“Kami mendorong agar MBG tidak hanya dilihat sebagai proyek distribusi makanan, melainkan investasi gizi jangka panjang yang sekaligus menggerakkan ekonomi rakyat. Dengan melibatkan pengusaha muda di daerah, rantai pasok bisa lebih cepat, biaya lebih efisien, dan dampaknya terasa langsung di masyarakat,” tambah Anggawira.
Sebagai organisasi pengusaha muda terbesar di Indonesia, HIPMI menegaskan komitmennya untuk menjadi mitra strategis pemerintah dalam memastikan MBG berjalan dengan transparan, akuntabel, dan berdampak luas. HIPMI juga siap mendorong inovasi sistem berbasis teknologi agar potensi penyimpangan dapat ditekan sejak awal.
Dengan langkah perbaikan yang tepat, HIPMI optimistis program MBG dapat menjadi salah satu legacy besar dalam pembangunan sumber daya manusia menuju Indonesia Emas 2045. (Red)