
Garut,Ruangrakyatgarut.id – Di tengah krisis kepercayaan publik terhadap sistem hukum yang dinilai elitis dan lamban, program Dulur Adhyaksa mencuat sebagai angin segar dari Garut. Bukan sekadar program sosialisasi, inisiatif ini disambut luas sebagai bentuk konkret kehadiran hukum yang menyentuh langsung denyut kehidupan masyarakat bawah.
Salah satu tokoh yang menyambut penuh gebrakan ini adalah pengusaha muda Garut, H. Riki Megawan, SE. Ia menilai Dulur Adhyaksa sebagai bentuk revolusi sunyi dalam dunia hukum gerakan yang menggerus kesan bahwa keadilan hanya milik mereka yang berduit dan berkuasa.
“Bagi saya, ini bukan acara seremonial. Ini gerakan nyata yang membongkar tembok ketimpangan hukum. Dan saya sangat mengapresiasi Kejari Garut yang punya keberanian menembus sekat-sekat itu,” ujar Riki tegas dalam wawancara eksklusif, Rabu (09/07/2025).
Rakyat Biasa, Korban Nyata dari Sistem yang Rumit
Menurut Riki, fakta lapangan membuktikan betapa rakyat kecil menjadi korban dari sistem hukum yang rumit, berbiaya tinggi, dan minim empati. Banyak warga desa yang kehilangan aset, terjerat utang, bahkan dikriminalisasi karena ketidaktahuan hukum.
“Saya melihat sendiri ada ibu-ibu tua yang kehilangan hak atas sawahnya karena tidak mengerti proses sertifikasi. Mereka tidak tahu harus ke mana. Maka Dulur Adhyaksa menjadi jawaban atas kepanikan kolektif masyarakat miskin terhadap hukum,” tuturnya.
Ia menyebut langkah Kejaksaan Garut ini sebagai “keadilan jalanan”.yakni keadilan yang turun langsung ke gang-gang sempit dan dusun terpencil, bukan hanya berkutat dalam gedung mewah dan prosedur berbelit.
Peran Strategis Abenk Marco: Figur Populer Jadi Agen Kesadaran
Riki juga mengapresiasi keterlibatan Abenk Marco, aktor yang terkenal lewat perannya dalam serial Preman Pensiun. Bagi Riki, keputusan menggandeng figur publik bukan sekadar upaya mencari sorotan, tetapi bentuk strategi komunikasi yang cerdas.
“Abenk punya daya magnet. Ia tokoh yang dikenal masyarakat, dekat dengan ‘rasa’ rakyat kecil. Ketika ia bicara soal hukum, masyarakat dengar. Ini cara cerdas membumikan pesan yang berat agar mudah dicerna,” jelas Riki.
Ia bahkan menyebut bahwa kolaborasi antara institusi negara dan ikon budaya populer adalah bentuk modern dari diplomasi keadilan. Di tengah derasnya hoaks dan disinformasi hukum, hadirnya sosok seperti Abenk memberi wajah baru yang lebih segar dan bisa dipercaya oleh publik akar rumput.
Dari Garut Menuju Indonesia: Gerakan Hukum yang Layak Ditiru
Namun Riki tidak ingin gerakan ini berhenti hanya sebagai program lokal. Ia menantang Kejaksaan Agung dan institusi penegak hukum lain untuk mengadopsi model Dulur Adhyaksa secara nasional.
“Jangan biarkan rakyat di daerah lain terjebak dalam ketidaktahuan hukum. Apa yang dimulai dari Garut ini bisa jadi titik tolak nasional, jika ada kemauan politik yang kuat dan keberanian moral untuk menerobos zona nyaman,” katanya.
Sebagai pengusaha, Riki menyatakan siap membuka jalur kolaborasi baik melalui CSR, edukasi hukum berbasis komunitas, maupun penguatan advokasi di sektor informal dan desa-desa terpencil.
Ini Bukan Sekadar Program, Tapi Perlawanan terhadap Ketidakadilan Sistemik
Apa yang sedang terjadi di Garut bukan hanya soal program Dulur Adhyaksa lebih dari itu, ini adalah refleksi perubahan paradigma:
bahwa hukum bukan menara gading, melainkan alat pembebasan. Dan tokoh seperti H. Riki Megawan serta figur publik seperti Abenk Marco menjadi bagian penting dari gerakan yang menolak pasrah terhadap status quo.
Dengan nada tajam, Riki mengakhiri:
“Keadilan itu tidak bisa ditunggu, harus dijemput. Dan ketika rakyat tidak tahu caranya, negara yang harus datang menjemput mereka.”
Inilah wajah baru supremasi hukum dimulai dari Garut, menyala untuk Indonesia. (*)