
Garut,Ruangrakyatgarut.id – Di tengah gencarnya program bantuan sosial yang diklaim pemerintah sebagai bukti hadirnya negara untuk rakyat kecil, masih ada cerita memilukan yang tak tersentuh oleh sistem. Salah satunya adalah kisah Kusnadi, warga Kampung Dayeuhandap, RT 01 RW 29, Kelurahan Kota Kulon, Kecamatan Garut Kota, Kabupaten Garut, Jawa Barat.
Kusnadi hidup dalam kondisi yang sangat memprihatinkan bersama istri dan anaknya. Rumah mereka nyaris tidak layak huni bangunannya kecil, reyot, dan berdiri di atas tanah sempit dengan material seadanya. Dinding dari papan bekas, atap bocor, lantai tanah, tanpa ventilasi udara yang memadai. Ketika hujan turun, rumah itu berubah menjadi ruang lembap dan pengap yang memperburuk kondisi kesehatan penghuni di dalamnya.
Yang lebih memilukan, Kusnadi sudah bertahun-tahun menderita sakit. Tubuhnya lemah, tak lagi mampu bekerja, dan sepenuhnya bergantung pada bantuan orang sekitar serta penghasilan kecil anak semata wayangnya, Adit. Remaja tangguh itu setiap hari mendorong keranjang berisi tahu bulat, menjual keliling kampung demi mendapatkan uang untuk membeli makanan dan, jika memungkinkan, obat bagi sang ayah.
Hidup Dalam Keterbatasan, Tapi Tak Pernah Tersentuh Bantuan
Ironisnya, dalam berbagai pendataan dan distribusi bantuan sosial dari pemerintah, keluarga Kusnadi selalu terlewatkan. Nama mereka tidak tercantum dalam daftar penerima Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), Bantuan Langsung Tunai (BLT), maupun sebagai peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) untuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
“Setahu kami, keluarga ini memang hidup sangat susah. Tapi setiap ada pendataan bantuan, mereka tidak pernah terdata. Padahal kondisi mereka jauh lebih parah daripada yang lain,” ujar salah satu warga yang enggan disebutkan namanya. Selasa, (27/05/2025).
Warga lainnya juga mengungkapkan keprihatinan atas ketidakadilan dalam penyaluran bantuan. “Ada yang rumahnya permanen, punya motor, tapi dapat bantuan terus. Sementara Pak Kusnadi? Tidak pernah,” tambahnya.
Tudingan Terhadap Akurasi Data dan Praktik Nepotisme
Ketidaktepatan sasaran dalam pendistribusian bantuan sosial ini kembali memunculkan pertanyaan besar soal keakuratan data penerima manfaat. Banyak pihak menilai bahwa pendataan yang dilakukan tidak melibatkan perangkat lingkungan terkecil secara menyeluruh atau bahkan sarat dengan praktik nepotisme dan pilih kasih.
“Bisa jadi ini karena kelalaian sistem, atau yang lebih menyedihkan, ada unsur kesengajaan dalam pengabaian,” kata seorang pemerhati sosial dari salah satu LSM di Garut.
Ia menegaskan bahwa kasus seperti Kusnadi bukan hal baru, melainkan cerminan dari permasalahan struktural yang belum kunjung diselesaikan. “Selama proses verifikasi data dilakukan secara tertutup dan tanpa pelibatan aktif masyarakat, maka kasus seperti ini akan terus terjadi.”
Tidak Ada Respons dari Pemerintah Setempat
Upaya media untuk mengonfirmasi pihak Kelurahan Kota Kulon maupun Kecamatan Garut Kota terkait kasus ini hingga kini belum membuahkan hasil. Pesan dan permintaan wawancara belum mendapat tanggapan. Diamnya pihak berwenang dalam isu seperti ini justru semakin memperkuat kesan bahwa persoalan kemiskinan ekstrem belum menjadi prioritas serius di tingkat lokal.
Harapan yang Masih Menyala
Meski hidup dalam keterbatasan, Kusnadi dan keluarganya tak pernah menyerah. Mereka masih menaruh harapan bahwa suatu hari akan ada perhatian nyata dari pemerintah. Harapan akan sebuah rumah yang layak, jaminan kesehatan, dan kesempatan untuk menjalani hidup dengan martabat yang setara.
“Bukan kami tidak mau berusaha. Tapi bagaimana caranya? Saya sakit, tidak bisa kerja. Anak saya masih remaja. Yang kami inginkan hanya sedikit perhatian dari negara,” kata Kusnadi dengan suara lirih, sambil berbaring lemah di atas tikar usang.
Kisah Kusnadi adalah potret nyata rakyat kecil yang hidup dalam lorong gelap pembangunan. Ketika berbagai indikator makroekonomi dan program pengentasan kemiskinan terus diklaim mengalami perbaikan, ternyata masih banyak suara lirih yang tak terdengar suara mereka yang hidup dalam keterasingan, menunggu tangan negara menyentuh mereka dengan keadilan. (Hilman)
.