
Oplus_0
Garut,RuangRakyatGarut.id – Polemik pelaksanaan program Bantuan Keuangan (BANKEU) dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang dialokasikan melalui APBD I Tahun Anggaran 2023 kembali mencuat ke permukaan. Sejumlah tokoh masyarakat, aktivis mahasiswa, dan penggiat sosial kontrol di Kabupaten Garut, Jawa Barat melaporkan adanya indikasi penyimpangan anggaran pada proyek yang tersebar di lebih dari 150 titik kegiatan desa, dengan nilai bervariasi dari Rp130 juta hingga Rp600 juta per paket.
Permasalahan paling mencolok terjadi di Desa Tarogong, Kecamatan Tarogong Kidul, yang mendapat alokasi dana BANKEU sebesar Rp550 juta untuk kegiatan peningkatan jalan pertanian dan pariwisata. Namun, ironi mencuat ketika diketahui bahwa desa tersebut bukanlah kawasan pertanian aktif maupun memiliki potensi wisata. Warga pun mempertanyakan logika penganggaran, transparansi proyek, serta mekanisme pelaksanaannya.
Salah seorang pengurus desa yang enggan disebut namanya menyebutkan, “Kami tidak pernah diajak musyawarah oleh pihak desa mengenai proyek ini. Tiba-tiba saja jalan dikerjakan oleh pihak ketiga tanpa sepengetahuan masyarakat.” Proyek tersebut dilaksanakan oleh salah seorang kontraktor berinisial UN pada Januari 2024, namun dua bulan berselang, sekitar 60% jalan hotmix telah mengalami kerusakan dan mengelupas.
Kekecewaan publik semakin membesar setelah pernyataan Kepala Desa Tarogong, Endang Solih, dalam wawancara dengan awak media menyebutkan bahwa dirinya hanya menerima sekitar 6% dari total dana, setara dengan Rp30 juta, yang menurutnya digunakan untuk membayar kekurangan pajak.
Sementara itu, pihak yang mengelola anggaran secara penuh disebutnya merupakan pelaksana yang direkomendasikan oleh dua tokoh politik, yakni AG mantan Wakil Ketua DPRD Jabar yang kini menjadi Caleg DPR RI dari Partai Golkar dan DK, mantan Kepala Desa (Kades) yang saat ini menjadi anggota DPRD Provinsi Jawa Barat dari Partai Gerindra.
Dalam keterangannya beberapa waktu yang lalu, Endang Solih mengaku semula tidak mengetahui bahwa proyek tersebut akan dikerjakan dengan mutu buruk dan tanpa pengawasan maksimal. “Saya tidak menyangka hasilnya akan seperti itu dan akan memicu protes dari warga,” ujarnya.
Dugaan Setingan dan Potensi Bancakan Dana Publik
Pernyataan Endang justru membuka tabir kemungkinan adanya praktik yang lebih luas, yakni dugaan keterlibatan oknum legislatif dalam penunjukan pelaksana proyek dengan pola yang menyerupai “setingan”.
Bahkan, sejumlah sumber dari kalangan aktivis menyebut proyek-proyek serupa terjadi di berbagai wilayah lain di Garut, seperti di Kecamatan Cibatu, Karangpawitan, Wanaraja,Kadungora hingga wilayah selatan Garut.
Menurut seorang aktivis mahasiswa dari Aliansi MPN (Macan Pusaka Nusantara) yang tak ingin identitasnya dipublikasikan, proyek bantuan keuangan ini diduga kuat telah mengalami pemotongan dana atau mark-up.
“Modusnya hampir sama: penunjukan kontraktor oleh pihak luar desa, kualitas pekerjaan buruk, dan kepala desa hanya dijadikan stempel penerima manfaat,” katanya dalam pertemuan dengan awak media pada 15 April 2025 lalu.
Ia menyebutkan pula adanya dugaan bahwa proyek ini dijadikan sebagai tunggangan politik praktis menjelang Pemilu 2024, mengingat dana BANKEU dicairkan di tengah kontestasi politik. “Kami menduga bahwa proyek-proyek ini dikemas sebagai bagian dari kampanye terselubung oleh para caleg melalui tim suksesnya, dengan menyisipkan loyalis mereka sebagai pelaksana proyek di desa-desa,” ujarnya.
Rencana Audiensi dan Desakan Audit Forensik
Menyikapi temuan-temuan tersebut, sejumlah aktivis dan organisasi mahasiswa di Garut berencana menggelar audiensi publik dengan melibatkan pihak Inspektorat Provinsi Jawa Barat, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), serta aparat penegak hukum untuk mengusut dugaan bancakan dana publik.
“Ini bukan hanya persoalan proyek gagal atau mutu rendah. Ini persoalan tata kelola anggaran publik yang menyimpang. Rakyat butuh transparansi dan keadilan. Kami tidak ingin dana miliaran rupiah dari rakyat justru dijadikan bancakan oleh oknum elite politik,” tegas perwakilan mahasiswa tersebut.
Rencana audiensi akan disusun secara formal melalui pengiriman surat pekan depan. Selain itu, mereka juga akan menggandeng media nasional dan LSM untuk memperkuat advokasi publik.
Aktivis juga menyoroti pentingnya peran Inspektorat dan Kejaksaan dalam melakukan audit forensik terhadap alur dana, pemotongan, hingga siapa saja yang mendapat keuntungan dari proyek tersebut. Jika terbukti adanya unsur pidana, mereka meminta agar aparat segera melakukan penindakan.
Sorotan kepada Legislator Asal Garut
Keterlibatan nama legislator berinisial AG dan DK dalam kisruh ini turut menjadi sorotan publik. Apalagi,DK yang diketahui merupakan mantan Kepala Desa yang kini menjabat sebagai anggota DPRD Provinsi Jabar, sementara AG sendiri disebut-sebut terlibat dalam distribusi proyek ke berbagai desa sebagai bagian dari strategi politik menuju kursi legislatif.
“Jika benar ada skenario setingan dana publik yang dikaitkan dengan manuver politik, ini merupakan skandal besar. Kami tidak akan tinggal diam,” tegas mahasiswa dari Garut Selatan.
Kisruh proyek BANKEU yang mestinya menjadi solusi pembangunan desa kini menjelma menjadi bom waktu bagi banyak pihak. Dugaan penyimpangan, keterlibatan elit politik, kualitas proyek yang buruk, dan transparansi yang dipertanyakan telah membentuk potret buruk tata kelola bantuan daerah di tingkat desa.
Langkah konkret melalui audiensi publik, desakan audit, dan penyelidikan hukum kini menjadi harapan terakhir agar suara rakyat tidak kembali tenggelam dalam retorika pembangunan. Sebab, pembangunan sejati bukanlah sebatas seremoni proyek, tetapi juga memastikan setiap rupiah uang rakyat benar-benar kembali untuk rakyat.
RuangRakyatGarut.id akan terus memantau perkembangan isu ini, dan membuka ruang pengaduan bagi masyarakat desa lain yang mengalami hal serupa. Kirimkan informasi Anda ke redaksi@ruangrakyatgarut.id. (*)