
Oplus_131072
RuangRakyatGarut
Garut, Pernikahan yang seharusnya menjadi momen sakral dan penuh kebahagiaan, justru berubah menjadi lautan duka mendalam bagi warga Garut. Tragedi memilukan yang terjadi pada Jumat, 18 Juli 2025, di Pendopo Garut, telah meninggalkan luka yang dalam—bukan hanya bagi keluarga korban, tetapi juga bagi seluruh masyarakat yang menyaksikan perayaan itu berubah menjadi duka massal.
Kericuhan bermula saat ribuan warga berdesakan untuk mendapatkan makanan gratis. Minimnya pengamanan, absennya sistem antrean, serta kelalaian panitia dalam mengelola arus massa menjadi pemicu utama kekacauan.
Akibatnya, tiga orang meninggal dunia dan dua puluh enam lainnya luka-luka. Dalam suasana duka dan keprihatinan, Aliansi Umat Islam Garut menyampaikan sikap tegas dan mengecam keras insiden tersebut.
“Ini bukan semata musibah, tetapi akibat kelalaian fatal dalam perencanaan dan penyelenggaraan acara. Kita tidak sedang membahas kekurangan logistik, melainkan soal nyawa manusia yang hilang karena buruknya manajemen kegiatan publik,” tegas Ketua Aliansi.
Aliansi turut menyampaikan duka cita mendalam kepada keluarga korban, menyebut para syuhada ini—insyaAllah—mendapat tempat terbaik di sisi Allah SWT. Harapan dan doa juga dipanjatkan agar keluarga yang ditinggalkan diberi ketabahan, dan para korban luka segera diberi kesembuhan.
Sebagai bentuk solidaritas spiritual, Aliansi menyerukan kepada seluruh umat Islam di Kabupaten Garut untuk melaksanakan shalat ghaib bagi para korban. Seruan ini bukan hanya ritual keagamaan, melainkan manifestasi kepedulian sosial dan bentuk persatuan umat di tengah duka kolektif.
Namun, sikap Aliansi tidak berhenti pada ungkapan belasungkawa. Mereka juga menyampaikan desakan tegas kepada pemerintah—mulai dari Presiden Prabowo Subianto, DPR RI, hingga aparat penegak hukum seperti Mabes Polri dan Polda Jawa Barat—agar segera mengusut tuntas tragedi ini.
Aliansi mendesak agar proses hukum ditingkatkan dari penyelidikan ke tahap penyidikan, menyasar semua pihak yang bertanggung jawab, baik langsung maupun tidak langsung. Tindakan ini dianggap sebagai bentuk keberpihakan terhadap suara rakyat kecil yang kerap hanya menjadi penonton—bahkan korban—dalam agenda kekuasaan dan popularitas.
Tragedi ini menyingkap masalah yang lebih dalam: bukan semata kelalaian teknis, tetapi simbol ketimpangan dan arogansi kekuasaan yang menempatkan rakyat sebagai latar belakang seremonial tanpa perlindungan yang layak.
Lebih menyakitkan, gelombang komentar sinis di media sosial justru menyalahkan warga Garut. Banyak di antaranya diduga berasal dari pendukung tokoh publik yang terlibat dalam acara tersebut. Alih-alih empati, masyarakat Garut justru kembali menjadi korban stigma dan cibiran.
Di balik sorotan terhadap acara mewah itu, tersembunyi realitas sosial yang tidak boleh diabaikan: masih tingginya angka kemiskinan, ketimpangan sosial, serta lemahnya jaminan keselamatan dalam aktivitas publik. Tragedi ini menyiratkan bahwa panggung kemegahan tidak boleh membutakan nurani terhadap penderitaan rakyat.
Tragedi Pendopo Garut telah menjadi simbol luka kolektif. Melalui sikap tegas dan empatiknya, Aliansi Umat Islam Garut mengajak seluruh elemen bangsa untuk kembali menakar urgensi keadilan sosial, pengawasan terhadap kekuasaan, serta keberpihakan nyata terhadap nasib rakyat kecil.
Desakan mereka bukan semata agenda lokal, melainkan panggilan untuk kebangkitan moral dalam kehidupan berbangsa. (H_N)