
Garut,Ruangrakyatgarut.id – Kritik keras disampaikan terhadap sejumlah aktivis senior yang kini duduk di lingkar kekuasaan. Mereka dinilai telah meninggalkan semangat perjuangan dan idealisme kerakyatan yang dulu dikibarkan.
Hal ini mencuat setelah munculnya statemen yang mencoba menggiring opini seolah aksi Panggung Rakyat tidak memiliki dasar yang kuat. Padahal, aksi tersebut muncul sebagai respons dari keresahan masyarakat atas kondisi sosial yang belum membaik, khususnya persoalan kemiskinan ekstrem.
Eldy Supriadi, penggagas gerakan sosial Ruang Rakyat, menyayangkan pernyataan yang cenderung melemahkan gerakan rakyat tersebut. Ia menyebut bahwa beberapa aktivis yang kini berada di dalam lingkaran kekuasaan justru lebih sibuk menjaga kenyamanan posisi dan menikmati fasilitas, dibandingkan memperjuangkan aspirasi rakyat yang dulu mereka bela.
“Cara berpikir mereka sekarang sangat kendal (tumpul, lemah). Mereka yang dulu bersama rakyat, hari ini malah menyerang aksi rakyat. Banyak dari mereka kenyang makan dari APBD. Ini pengkhianatan terhadap semangat perjuangan,” ujar Eldy kepada wartawan, Selasa, (10/6/2025).
Pernyataan Eldy mengarah pada sejumlah tokoh yang dulunya dikenal vokal dalam menyuarakan isu-isu sosial, namun kini dianggap menjadi bagian dari struktur kekuasaan yang tak lagi kritis.
Menurut Eldy, mereka justru menjadi ‘corong penguasa’ yang menutupi realitas pahit di lapangan dengan narasi pencitraan.
Hal senada disampaikan Husen Suhendar, yang akrab disapa Sensen. Ia menyoroti ketimpangan sosial yang masih mencolok di Kabupaten Garut, khususnya persoalan kemiskinan ekstrem yang hingga kini masih berada di angka 9,8 persen.
“Ini bukan angka kecil. Hampir satu dari sepuluh warga Garut hidup dalam kemiskinan ekstrem. Tapi lihat bagaimana janji-janji politik terus digembar-gemborkan tanpa menyentuh akar masalah,” kata Sensen.
Ia juga menyoroti fenomena kemiskinan di wilayah perkotaan yang seharusnya menjadi etalase pembangunan. Namun faktanya, justru banyak kantong-kantong kemiskinan tumbuh di tengah kota, bersebelahan langsung dengan bangunan-bangunan megah dan program-program seremonial.
“Garut yang katanya hebat, nyatanya tidak mampu menyelesaikan kemiskinan di pusat kota. Ini bukan hanya kegagalan program, tapi juga kegagalan moral dari mereka yang pernah mengaku berjuang untuk rakyat,” tambahnya.
Kritik ini mengemuka di tengah banyaknya kegiatan seremonial yang digelar pemerintah daerah dan aktor-aktor politik menjelang tahun politik 2025. Aksi Panggung Rakyat yang digelar sebagai bentuk ekspresi masyarakat justru dianggap tidak berdasar oleh sebagian pihak, yang diduga berasal dari kalangan aktivis yang kini menjadi bagian dari struktur penguasa.
Eldy menegaskan bahwa aksi-aksi rakyat tidak boleh diabaikan atau diremehkan, apalagi jika dituduh sebagai bentuk agitasi tanpa dasar. Menurutnya, rakyat Garut saat ini sedang menghadapi berbagai tekanan: kemiskinan, pengangguran, kesenjangan pelayanan publik, dan janji politik yang tak kunjung ditepati.
“Kalau para aktivis sudah mulai lebih nyaman di sofa kekuasaan dan tidak lagi mendengar jeritan rakyat, maka kita patut bertanya: sejak kapan idealisme itu dijual dan berapa harganya?” tutup Eldy.
Pernyataan ini menggugah banyak pihak, terutama kalangan muda dan mahasiswa yang mulai mempertanyakan integritas para tokoh yang sebelumnya menjadi panutan gerakan sosial.
Di tengah krisis kepercayaan terhadap elit lokal, suara rakyat seperti yang disuarakan lewat Panggung Rakyat menjadi penting untuk menjaga demokrasi tetap hidup dari bawah. (*)