Ruangrakyatgarut.id 09 Desember 2025 — Kritik keras disampaikan mantan Bupati Garut terkait menurunnya etika dan kedisiplinan sejumlah anggota DPRD Kabupaten Garut, khususnya dalam rapat penting yaitu pada saat sidang paripurna dalam pengesahan APBD 2026 Ia menilai kondisi ini harus menjadi perhatian serius publik karena berdampak langsung pada kualitas penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Sorotan ini mencuat setelah beredar informasi bahwa rapat paripurna penetapan APBD 2026—rapat yang menjadi momen krusial persetujuan anggaran antara DPRD dan Bupati—hanya dihadiri oleh kurang dari 40 persen anggota Dewan.
“Saya mendengar rapat paripurna penetapan APBD yang sangat penting itu hanya dihadiri kurang dari 40 persen anggota DPRD. Tentu saya prihatin. Zaman saya menjabat, tidak pernah terjadi seperti ini,” ujarnya.
Menurutnya, kondisi tersebut merupakan bentuk pelecehan terhadap sistem pemerintahan Kabupaten Garut, mengingat APBD adalah dokumen fundamental yang menentukan arah pembangunan daerah.
Hak dan Fasilitas DPRD Dinilai Sudah Sangat Maksimal
Mantan Bupati tersebut juga mengungkap bahwa selama masa kepemimpinannya, hak-hak anggota DPRD telah diberikan secara maksimal. Ia mencontohkan besaran tunjangan kontrak rumah yang mencapai lebih dari Rp15 juta per bulan, sesuai rekomendasi konsultan yang ditunjuk DPRD.
“Kontrak rumah saja lebih dari 15 juta per bulan, itu SK zaman saya. Ada juga uang transport, uang pulsa, dan uang kehormatan,” ujarnya.
Dengan fasilitas sebesar itu, ia menilai wajar apabila masyarakat menuntut anggota DPRD bekerja secara maksimal dan menunjukkan tanggung jawab dalam menjalankan fungsi legislatif.
Kritik Soal Perjalanan Dinas dan Minimnya Transparansi
Ia juga menyoroti pola kegiatan anggota DPRD yang kerap melakukan perjalanan dinas ke luar daerah, sementara rapat-rapat internal justru jarang dilakukan di Kabupaten Garut.
“Zaman saya, anggaran perjalanan dinas mencapai sekitar Rp25 miliar per tahun. Tapi rapatnya tidak pernah di kabupaten sendiri. APBD malah dipakai untuk pendapatan daerah lain,” katanya.
Ia bahkan mendorong wartawan untuk mengikuti secara langsung kegiatan DPRD ketika melakukan studi banding atau rapat di luar daerah demi membuka transparansi penggunaan anggaran publik.
Badan Kehormatan Diminta Bertindak
Terkait banyaknya anggota yang tidak hadir, ia menilai Badan Kehormatan (BK) DPRD harus mengambil tindakan tegas dengan menelusuri pelanggaran kode etik, terutama dalam persidangan dan rapat paripurna yang menyangkut hajat hidup masyarakat.
Ia mengingatkan bahwa pemerintahan daerah terdiri dari eksekutif dan legislatif yang harus berjalan seiring. Tanpa dukungan kedua belah pihak, program pembangunan akan terhambat.
“Garut punya tagline ‘Garut Hebat’. Tapi itu hanya bisa terwujud kalau legislatif dan eksekutif bekerja sama. Pemerintahan itu terdiri dari bupati, wakil bupati, dan 50 anggota DPRD. Kalau bupati saja tidak dihargai dengan tidak hadir pada penandatanganan APBD, ya mau bagaimana?” tegasnya.
Kehadiran Minim, Diduga Terkait Pokir?
Ia juga menyinggung kemungkinan bahwa sebagian anggota DPRD enggan hadir karena merasa anggaran pokok-pokok pikiran (pokir) mereka “sudah aman”.
“Kalau pokir mereka sudah aman, ya mereka merasa tidak perlu datang lagi,” ujarnya.
Situasi ini, lanjutnya, harus menjadi perhatian masyarakat agar fungsi pengawasan publik terhadap DPRD semakin kuat, terutama di tengah kondisi Garut yang sedang menghadapi situasi darurat dan membutuhkan fokus anggaran yang tepat. (Hil)
