Ruangrakyatgarut.id 15 November 2025 — Gerakan Pemuda Mahasiswa Peduli Bangsa (GPMPB) menyampaikan penolakan keras terhadap keputusan pemerintah yang menetapkan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional. Menurut organisasi tersebut, keputusan ini tidak hanya menimbulkan kegelisahan publik, tetapi juga dinilai bertentangan dengan nilai-nilai ideologis dan moral bangsa.
Dalam pernyataan resminya, GPMPB menilai bahwa penetapan tersebut tidak selaras dengan prinsip-prinsip Pancasila, terutama terkait nilai kemanusiaan, keadilan, dan demokrasi. Mereka menyoroti bahwa masa pemerintahan Orde Baru di bawah Soeharto diwarnai pembatasan kebebasan sipil, represi terhadap aktivis dan mahasiswa, serta berbagai pelanggaran HAM yang hingga kini belum diselesaikan secara transparan.
GPMPB menilai bahwa pemberian gelar pahlawan kepada sosok yang rekam jejaknya masih dipenuhi kontroversi merupakan bentuk pengabaian terhadap suara para penyintas serta keluarga korban pelanggaran HAM masa lalu. Keputusan tersebut dianggap membuka kembali luka sejarah yang belum tuntas dan mengikis memori kolektif bangsa mengenai pentingnya keadilan.
Lebih jauh, organisasi pemuda ini menegaskan bahwa keputusan tersebut bertentangan dengan semangat Reformasi 1998, sebuah gerakan yang lahir sebagai respon terhadap praktik otoritarianisme, penyalahgunaan kekuasaan, dan KKN pada masa akhir pemerintahan Soeharto. GPMPB menilai gelar kehormatan itu berpotensi mengaburkan makna perjuangan reformasi dan mengkhianati aspirasi rakyat.
Menurut GPMPB, gelar Pahlawan Nasional seharusnya hanya diberikan kepada tokoh yang memiliki integritas moral tanpa keraguan. Ketika gelar itu diberikan kepada sosok yang memunculkan polemik mendalam, maka yang dipertaruhkan bukan hanya narasi sejarah bangsa, tetapi juga kepercayaan publik terhadap arah moral negara.
Melalui pernyataan tertulis, GPMPB menyampaikan empat poin sikap:
1. Menolak secara tegas penetapan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional.
2. Mendesak pemerintah meninjau kembali keputusan tersebut demi menjaga integritas sejarah dan nilai keadilan.
3. Mengajak masyarakat, pemuda, dan mahasiswa untuk kritis serta menjaga memori sejarah agar nilai kepahlawanan tidak disalahgunakan untuk kepentingan politik.
4. Menuntut penyelesaian menyeluruh atas pelanggaran HAM masa lalu sebagai bagian penting menuju rekonsiliasi nasional dan pematangan demokrasi.
“Bangsa yang besar adalah bangsa yang berani jujur terhadap sejarahnya sendiri,” demikian kutipan akhir pernyataan GPMPB. Mereka menegaskan bahwa penghargaan tertinggi negara tidak boleh mengabaikan suara korban maupun perjalanan panjang demokrasi Indonesia.
