
Ruangrakyatgarut.id — Dalam rangka memperingati Hari Santri Nasional Tahun 2025, Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah (FKDT) Kabupaten Garut menggelar kegiatan Istigasah dan Manaqib di Pendopo Garut, Senin (21/10/2025). Acara yang berlangsung penuh khidmat ini dihadiri berbagai unsur pemerintahan, tokoh agama, serta ratusan guru dan santri Madrasah Diniyah se-Kabupaten Garut.
Mengusung tema “Jihad Santri, Jayakan Negeri”, kegiatan tersebut diisi dengan istigasah, munajat, serta seminar kebangsaan sebagai bentuk refleksi atas peran besar santri dalam menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Hadir dalam kesempatan tersebut Asisten Daerah (Asda) I Pemerintah Kabupaten Garut Drs. H. Bangbang Hafidz, M.Si, yang mewakili Bupati Garut, Ketua Kementerian Agama Kabupaten Garut H. Saepulloh, S.Ag., M.Pd.I, Wakil Ketua DPRD Garut Subhan Fahmi, S.IP, serta unsur Forkopimda. Turut hadir pula jajaran DPC dan DPAC FKDT se-Kabupaten Garut, para guru Madrasah Diniyah, dan para santri yang memadati area Pendopo Garut.
Dalam sambutannya, Bangbang Hafidz menyampaikan apresiasi tinggi kepada FKDT atas terselenggaranya kegiatan ini. Ia menilai bahwa momentum Hari Santri bukan sekadar ajang seremonial, melainkan sarana refleksi dan penguatan nilai keagamaan serta kebangsaan di tengah masyarakat.
“Santri dan para guru Madrasah Diniyah memiliki peran strategis dalam membentuk karakter generasi muda yang berakhlak, berilmu, dan cinta tanah air. Pemerintah Kabupaten Garut tentu mendukung penuh kegiatan seperti ini,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua FKDT Kabupaten Garut, Ustadz Atef Taufik Mukhtar, dalam sambutannya menyampaikan pesan mendalam tentang makna Hari Santri dan peran besar santri serta kiai dalam perjuangan bangsa. Ia menegaskan bahwa peringatan Hari Santri Nasional sejatinya merupakan momentum untuk mengenang jasa para ulama dan santri yang telah berkontribusi besar terhadap kemerdekaan Indonesia.
“Hari Santri ini ditetapkan pada 22 Oktober, berakar dari Resolusi Jihad yang dicetuskan oleh Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari. Resolusi inilah yang menjadi pemicu terjadinya Perang Dahsyat 10 November 1945 yang kemudian kita kenal sebagai Hari Pahlawan,” tutur Ustadz Atef.
Ia menambahkan, tanpa peran para santri dan kiai dalam Resolusi Jihad 22 Oktober, mungkin tidak akan lahir momentum besar 10 November. Oleh karena itu, jika Hari Pahlawan dirayakan dengan penuh kemeriahan, maka Hari Santri pun patut disambut dengan kebanggaan yang sama — sebagai bentuk penghormatan terhadap para pejuang agama dan bangsa.
Dalam kesempatan yang sama, Ustadz Atef juga menyinggung pemberitaan provokatif yang sempat mengusik dunia pesantren. Ia menyebut bahwa kegiatan istigasah dan manaqib ini bukan hanya ritual keagamaan, melainkan juga “protes spiritual” terhadap pihak-pihak yang merendahkan martabat santri dan pesantren.
“Berbeda dengan sebagian pihak yang mungkin melakukan protes dengan cara demonstrasi, kita sebagai santri dan guru memilih jalan spiritual — dengan istigasah dan manaqiban, mengetuk pintu langit agar Allah SWT membela dan memuliakan para santri,” ucapnya.
Menutup sambutannya, ia berdoa agar kegiatan malam itu membawa keberkahan bagi seluruh santri dan pesantren di Indonesia.
“Kita yakin, siapa pun yang menghina santri, siapa pun yang menghina pesantren, akan berhadapan dengan murka Allah SWT. Semoga dari sekian ratus jamaah yang hadir malam ini, ada satu atau lebih doa yang diijabah oleh Allah,” tutupnya penuh harap.
Kegiatan istigasah dan manaqib ini menjadi momentum berharga untuk meneguhkan kembali semangat perjuangan para santri — bahwa jihad mereka tidak berhenti di medan tempur, tetapi terus hidup dalam doa, ilmu, dan pengabdian kepada negeri. (Hilman)