
Oplus_131072
Ruangrakyatgarut.id, 11/09/2025 – Persoalan keberadaan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) fiktif kembali menyeruak dan menimbulkan tanda tanya besar mengenai integritas penyelenggara pendidikan nonformal di Kabupaten Garut.
Informasi yang beredar menyebutkan adanya oknum yang bukan hanya memiliki kepentingan langsung dengan PKBM, tetapi juga diduga ikut menikmati aliran dana, tanpa menyentuh tujuan utamanya: mencerdaskan masyarakat putus sekolah.
Alih-alih menjadi pusat belajar, PKBM tersebut ditengarai hanya dijadikan “pabrik proposal” dan “mesin pencetak anggaran”. Ironisnya, praktik ini berjalan mulus karena adanya dugaan pembiaran dari lembaga terkait seperti Dinas Pendidikan, Disdukcapil, hingga Dewan Pendidikan.
“Masyarakat kecil yang seharusnya menikmati hak pendidikan gratis, malah hanya jadi angka di atas kertas laporan. Kalau ini benar, jelas bukan sekadar persoalan moral, tapi indikasi praktik korupsi,” ujar seorang pemerhati pendidikan.
Aktivis muda Hilman NP menegaskan, aparat penegak hukum harus menjadikan kasus ini sebagai pintu masuk untuk membongkar mafia anggaran pendidikan nonformal. “Jika tidak ditindak, PKBM fiktif hanya akan melahirkan generasi yang putus asa karena haknya dirampas oleh segelintir orang yang serakah,” tegasnya.
Dewan Pendidikan Garut Dinilai Hanya Jadi Beban
Kritik juga mengarah pada Dewan Pendidikan Kabupaten Garut. Alih-alih menjadi mitra strategis pemerintah dalam memajukan dunia pendidikan, lembaga ini justru dinilai hanya menjadi beban birokrasi dan proyek anggaran.
Di era digital, fungsi-fungsi Dewan Pendidikan seperti menampung aspirasi, mengawasi kebijakan, hingga memberi rekomendasi sejatinya bisa digantikan oleh platform digital yang lebih transparan, cepat, dan akuntabel.
“Sekarang masyarakat bisa langsung menyampaikan aspirasi lewat kanal resmi digital, media sosial, atau aplikasi pengaduan publik. Transparansi anggaran pun bisa dipantau secara real time. Lalu apa fungsi Dewan Pendidikan selain menghabiskan anggaran?” sindir Hilman.
Lebih jauh, Dewan Pendidikan kerap dituding hanya menjadi alat legitimasi bagi kebijakan Dinas Pendidikan. Alih-alih kritis, mereka cenderung sekadar menjadi stempel, tanpa berani menyuarakan masalah mendasar seperti pungutan liar, kasus PKBM fiktif, atau lemahnya pengawasan mutu pendidikan.
Desakan agar pemerintah daerah mengevaluasi bahkan membubarkan Dewan Pendidikan semakin kuat. Anggaran lembaga tersebut dinilai lebih bermanfaat jika dialihkan ke peningkatan kualitas guru, perbaikan fasilitas sekolah, serta beasiswa bagi siswa miskin.
“Pendidikan di era digital tidak butuh Dewan Pendidikan. Yang dibutuhkan adalah transparansi, keberanian, dan inovasi. Kalau tidak relevan, bubarkan saja,” pungkas Hilman.