
Garut,RuangRakyatGarut.id – Dunia pendidikan kembali tercoreng oleh praktik yang kerap terjadi tetapi selalu dibungkam: penjualan seragam sekolah oleh pihak sekolah sendiri. Ketua GAPERMAS (Generasi Pemberdayaan Masyarakat), Asep Mulyana, S.Ag., mengecam keras praktik ini yang ia sebut sebagai pemerasan berkedok sistem pendidikan.
“Mari kita buka mata: praktik menjual seragam oleh sekolah bukan hanya melanggar hukum, tapi juga bentuk pemerasan sistemik terhadap rakyat miskin,” ujarnya penuh tekanan saat ditemui diruang kerjanya. Kamis,(24/07/2025).
Praktik Dagang Berkedok Pendidikan: Sekolah Dijadikan Lahan Basah
Dalam investigasi GAPERMAS, ditemukan pola yang terus berulang dari tahun ke tahun. Sekolah-sekolah negeri hingga swasta menengah ke bawah yang seharusnya menjadi benteng keadilan sosial justru terjebak dalam praktik dagang liar. Orang tua dipaksa membeli seragam dari sekolah dengan embel-embel “standar”, “resmi”, atau “khusus sekolah”.
Padahal, tak sedikit dari mereka harus menggadaikan barang atau berutang demi membayar lunas seragam anaknya.
“Di desa kami, ada ibu-ibu yang rela tidak makan layak agar bisa beli seragam dari sekolah anaknya. Padahal di pasar, harga seragam serupa bisa lebih murah 30-50%. Ini kezaliman,” ungkap seorang warga Cihurip dalam testimoni yang dikumpulkan GAPERMAS.
Modus Lama, Cengkeraman Baru: Dagang Lewat Tangan Toko Titipan
Menurut Asep, banyak sekolah sekarang menggunakan cara yang lebih licik: tidak lagi menjual langsung, tapi menunjuk toko rekanan. Namun, dalam praktiknya, sekolah tetap yang mengatur model, warna, hingga tempat pembelian. Orang tua tidak diberi pilihan selain mengikuti skema yang telah ditetapkan.
“Kalau itu bukan kartel lokal, apa namanya? Ini praktik monopoli yang membunuh kebebasan konsumen. Sekolah-sekolah seperti ini jelas telah melampaui batas fungsi pendidikannya,” kata Asep.
Payung Hukum Sudah Ada, Tapi Aparat Tutup Mata?
Anehnya, meski aturan tegas sudah dikeluarkan oleh pemerintah pusat, praktik ini seolah dilindungi oleh pembiaran. PP Nomor 17 Tahun 2010 pasal 198 dan Permendikbud Nomor 50 Tahun 2022 sudah secara eksplisit melarang praktik penjualan seragam oleh sekolah dan komite.
Namun, tidak ada kepala sekolah yang pernah dijatuhi sanksi berat. Tak ada komite sekolah yang dibekukan. Semuanya seolah berjalan di ruang gelap yang steril dari pengawasan.
“Kalau ada penegakan hukum yang adil, harusnya sudah banyak kepala sekolah yang diperiksa, bahkan dipecat. Tapi kita hidup di sistem yang suka pura-pura tidak tahu,” kritik Asep tajam.
Dampak Sosial: Ketimpangan, Stres, dan Kekerasan Psikologis terhadap Anak
GAPERMAS juga menyoroti dampak sosial yang ditimbulkan dari praktik ini. Anak-anak dari keluarga miskin seringkali diperlakukan berbeda atau bahkan dipermalukan karena belum membeli seragam ‘resmi’. Di beberapa kasus, mereka dilarang ikut upacara, pelajaran olahraga, atau kegiatan ekskul hanya karena perbedaan warna atau bahan seragam.
“Ini bukan sekadar baju. Ini adalah senjata psikologis yang melukai mental anak. Pendidikan kita jadi biadab ketika uang dijadikan patokan martabat,” tegas Asep dengan nada tinggi.
Komite Sekolah: Alat Legalisasi atau Partner Kejahatan?
Sorotan tajam juga diarahkan ke peran komite sekolah. Seharusnya menjadi mitra kritis dan pelindung hak orang tua, banyak komite justru berubah menjadi stempel palsu yang melegitimasi kebijakan sekolah.
“Kami menduga ada komite yang menerima fee dari penjualan seragam. Jika benar, ini bukan cuma pelanggaran etika, tapi juga indikasi korupsi,” ucap Asep.
GAPERMAS mendesak agar inspektorat daerah, Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat, hingga Ombudsman turun tangan melakukan investigasi menyeluruh. Ia juga meminta keterlibatan KPK jika ditemukan aliran dana mencurigakan.
Posko Pengaduan Dibuka: GAPERMAS Siap Lawan Mafia Seragam
Sebagai bentuk nyata perlawanan, GAPERMAS akan membuka Posko Pengaduan Seragam Sekolah di 15 kecamatan di Garut. Posko ini akan mengumpulkan laporan, bukti kwitansi, dan testimoni dari orang tua siswa yang merasa dirugikan.
“Ini perlawanan moral dan hukum. Kami tidak akan biarkan sekolah-sekolah jadi lahan basah oknum. Jika perlu, kami ajukan class action bersama masyarakat,” ancam Asep.
Pesan untuk Kepala Sekolah dan Dinas Pendidikan: Hentikan atau Berhadapan dengan Rakyat
Terakhir, Asep memberikan ultimatum kepada seluruh kepala sekolah dan pejabat pendidikan:
“Kami beri waktu: hentikan semua bentuk pemaksaan dan praktik dagang seragam. Jika tidak, siap-siap berhadapan dengan gelombang perlawanan rakyat. Sekolah bukan pasar, rakyat bukan sapi perah!” (*)