
Garut,RuangRakyatGarut.id – Duka menyelimuti Kabupaten Garut setelah acara yang diklaim sebagai “pesta rakyat” di Pendopo Garut berubah menjadi tragedi berdarah. Tiga warga meninggal dunia dan sedikitnya 26 orang lainnya mengalami luka-luka dalam insiden yang terjadi saat pembagian makanan gratis dalam rangkaian pernikahan mewah anak Gubernur Jawa Barat dan anak Kapolda Metro Jaya.
Alih-alih menjadi simbol kebahagiaan, pesta pernikahan itu kini menjadi sorotan nasional karena menyisakan luka, air mata, dan sederet pertanyaan besar tentang tanggung jawab moral dan politik para pemangku jabatan.
Kemewahan di Tengah Luka
Acara yang berlangsung di lingkungan Pendopo, jantung pemerintahan Kabupaten Garut, menampilkan segala kemewahan: panggung besar, deretan pejabat tinggi, pengamanan ketat, serta ribuan warga yang diundang hadir dengan iming-iming makan gratis. Tapi siapa sangka, di tengah gegap gempita itu, terjadi desak-desakan yang berujung maut.
Tiga warga, dua di antaranya perempuan lansia, dilaporkan tewas akibat sesak napas dan terinjak saat antrean pembagian makanan. Sementara puluhan lainnya harus dilarikan ke rumah sakit karena luka-luka. Tidak ada sistem antrean yang jelas, tidak ada prosedur pengamanan yang memadai, dan tidak ada mitigasi risiko, padahal acara melibatkan massa dalam jumlah besar.
“Pesta Rakyat” atau Pengabaian Terstruktur?
Menurut informasi yang dihimpun, acara ini digagas oleh Wakil Bupati Garut yang juga merupakan anak dari Kapolda Metro Jaya, dengan restu penuh dari Gubernur Jawa Barat yang juga merupakan ayah dari mempelai pria. Lokasi yang digunakan adalah Pendopo Kabupaten fasilitas milik negara dan didukung secara langsung oleh Pemerintah Daerah.
Narasi yang dibangun adalah “pesta rakyat”, seolah ingin memberikan kesan bahwa acara ini terbuka dan inklusif. Namun faktanya, sistem pelaksanaan jauh dari profesional. Tidak ada standar pengamanan acara besar, tidak ada tim medis yang siaga di lapangan, dan tidak ada evaluasi risiko padahal tamu yang datang diperkirakan mencapai ribuan orang.
Pertanyaannya: apakah penggunaan fasilitas negara untuk kepentingan keluarga pejabat diperbolehkan? Dan jika terjadi insiden, siapa yang bertanggung jawab?
Sikap Bungkam Para Elite
Yang paling menyakitkan bagi masyarakat bukan hanya jumlah korban, tapi sikap para elite yang memilih diam, alih-alih bertanggung jawab.
Gubernur Jawa Barat, yang dikenal vokal dan tegas dalam berbagai musibah sebelumnya, justru tak mengeluarkan pernyataan resmi terkait peristiwa ini. Padahal dalam kasus:
Kecelakaan Study Tour di Subang, ia langsung memerintahkan pencopotan kepala sekolah.
Insiden tambang ilegal, aktivitas langsung dihentikan.
Siswa korban perundungan yang bunuh diri, kepala sekolah langsung dinonaktifkan.
Namun dalam tragedi yang menelan nyawa di acara yang secara langsung melibatkan dirinya dan keluarganya, tidak ada satu pun pernyataan evaluatif maupun tindakan pertanggungjawaban yang muncul.
Begitu pula dengan Wakil Bupati Garut. Hingga hari ini belum ada klarifikasi terbuka ataupun permintaan maaf kepada publik. Semua justru seolah bersembunyi di balik narasi “takdir”, “musibah”, dan “kekeliruan teknis”.
Padahal, jika rakyat biasa yang menyelenggarakan acara hingga menyebabkan korban jiwa, tidak menutup kemungkinan penyelenggara langsung diperiksa, bahkan ditahan.
Tuntutan Evaluasi dan Keadilan
Berbagai kalangan mulai bersuara. Wasekjen ESDM PB HMI menyatakan bahwa tragedi ini harus menjadi momen evaluasi menyeluruh terhadap cara elite memperlakukan fasilitas publik dan nyawa rakyat.
“Ketika rakyat kecil jadi korban, kita sering melihat tindakan cepat dan tegas. Tapi ketika yang terlibat adalah elite, semua mendadak sunyi. Ini bukan hanya soal kematian tiga orang, tapi soal keadilan sosial dan keberpihakan moral,” ujarnya. Kamis, (24/07/2025).
Desakan juga datang dari aktivis lokal dan organisasi mahasiswa yang menuntut:
Evaluasi menyeluruh terhadap Pemerintah Kabupaten Garut, khususnya Bupati dan Wakil Bupati sebagai pemegang kendali wilayah dan izin kegiatan.
Klarifikasi terbuka dari Gubernur Jawa Barat, yang harus memisahkan peran pribadi sebagai ayah dari perannya sebagai pejabat publik.
Pertanggungjawaban moral dari Kapolda Metro Jaya, yang dalam hal ini bukan hanya sebagai ayah mempelai, tapi juga pemimpin institusi yang bertugas melindungi masyarakat.
Langkah tegas dari DPRD Jawa Barat, untuk melakukan pemanggilan terhadap anggota dewan yang ikut terlibat secara langsung dalam pesta ini.
Saat Negara Diam, Rakyat Bertanya
Tragedi ini bukan sekadar bencana teknis dalam sebuah acara. Ia adalah potret bagaimana kekuasaan bisa abai ketika menyangkut kepentingan pribadi. Bagaimana aparat, birokrasi, dan fasilitas negara bisa dikerahkan untuk pesta keluarga pejabat, tapi gagal memberikan perlindungan paling dasar: keselamatan warga.
Jika hari ini tidak ada satu pun yang dicopot, tidak ada yang mundur, dan tidak ada permintaan maaf terbuka, maka jelas bahwa negara sedang membiarkan kekuasaan digunakan tanpa batas, tanpa kontrol, dan tanpa rasa malu.
Dan pada akhirnya, rakyat kecil kembali menjadi korban. Bukan karena mereka miskin, tapi karena mereka tak punya kuasa. Karena nyawa mereka lebih ringan dibanding jabatan dan gengsi keluarga pejabat.
Redaksi RuangRakyatGarut.id akan terus mengikuti perkembangan kasus ini. Karena bagi kami, satu nyawa rakyat terlalu berharga untuk ditukar dengan panggung pesta.
Jika Anda ingin infografis kronologi, kutipan ahli hukum, atau tambahan investigasi, saya bisa bantu lanjutkan. (**)