
Oplus_0
Garut,Ruangrakyatgarut.id – Pesta rakyat dalam rangka syukuran pernikahan anak dua pejabat tinggi negara di Kabupaten Garut, Jawa Barat, yang semestinya menjadi momentum berbagi kebahagiaan, justru berubah menjadi ladang tangis dan luka.
Ribuan warga yang memadati area Pendopo Kabupaten Garut pada Jum’at siang yang tepatnya pada pukul 13’00 Wib (18/07/2025), berdesak-desakan demi mendapat makanan. Alhasil, kericuhan tak terhindarkan: tiga warga tewas, delapan orang terluka parah, dan belasan lainnya tumbang kelelahan.
Tragedi ini menguak kelemahan sistemik dalam pengelolaan acara publik oleh pejabat negara, menimbulkan pertanyaan tajam tentang tanggung jawab, etika kekuasaan, dan sensitivitas sosial dalam konteks kepemimpinan.
Panggung Mewah,Diduga Manajemen Amburadul
Acara yang berlangsung di Pendopo Kabupaten Garut, Jawa Barat, itu adalah bagian dari pesta syukuran pernikahan Maula Akbar, putra sulung Gubernur Jawa Barat, dengan Putri Karlina, putri dari petinggi di Polda Metro jaya Sejak pagi, warga dari berbagai pelosok Garut berdatangan, mendengar kabar akan ada “makan gratis” dan hiburan dari artis ibu kota.
Panitia, menurut pengakuan pihak keluarga, menyiapkan sekitar 5.000 porsi makanan.
Namun, tidak ada pengumuman resmi maupun sistem antrean memadai. Informasi makan gratis menyebar luas di media sosial tanpa verifikasi dan tanpa koordinasi lapangan.
Yang terjadi kemudian adalah kekacauan massal. Hanya satu pintu masuk dibuka di gerbang Pendopo. Ribuan warga memadati satu titik sempit, menyebabkan dorong-dorongan dan saling injak. Puluhan warga pingsan karena kekurangan oksigen. Tiga nyawa melayang, salah satunya seorang anak kecil.
Bripka Cecep Gugur dalam Tugas: Nyawa Dibayar Kepahlawanan
Salah satu korban jiwa adalah Bripka Cecep Saepul Bahri (39), anggota Bhabinkamtibmas Polres Garut yang bertugas mengamankan acara. Cecep bukan hanya polisi yang berdiri pasif. Ia turun langsung menyelamatkan warga yang terjebak dalam kepanikan.
“Setelah membantu menarik warga keluar dari kerumunan, Cecep sempat beristirahat dan kemudian pingsan. Saat dilarikan ke RSUD dr Slamet, nyawanya tidak tertolong,” ujar Kabid Humas Polda Jabar Kombes Pol Hendra Rochmawan.
Di rumah duka Perumahan Guntur Residence, istri Cecep, Fitri Novianti (36), tak henti menangis. Anak sulung mereka, Raihan, hanya diam mendampingi sang ibu, menyimpan duka di wajah kecilnya.
Kapolda Jabar Irjen Rudi Setiawan datang langsung memberikan penghormatan. “Suami ibu orang yang luar biasa. Kami semua kehilangan,” katanya menenangkan keluarga.
Vania, Bocah 8 Tahun yang Tak Sempat Pulang
Korban kedua adalah Vania Aprilia (8), siswa kelas 3 SD yang sehari-hari menemani ibunya, Mela, berjualan minuman di sekitar Pendopo. Siang itu, Vania bermain bersama teman-temannya tak jauh dari lokasi acara.
“Tiba-tiba ada pedagang yang memberitahu saya kalau Vania dibawa ke ambulans. Saat saya datang, dia sudah tak bernyawa. Tangannya dingin,” ucap Mela dengan mata sembab.
Penyebab kematian diduga karena sesak napas akibat tertindih massa dan kekurangan oksigen. Vania adalah gambaran nyata bahwa korban bukan hanya warga dewasa yang ikut antre makanan, tapi juga anak-anak kecil yang tak paham bahaya kerumunan.
Mempelai Minta Maaf, Tapi Benarkah Cukup?
Sabtu sore kemarin (19/07/2025), Maula Akbar dan istrinya menggelar konferensi pers. Dengan wajah lesu, ia mengaku menyesal atas kejadian yang terjadi dalam pesta pernikahannya.
“Kami sangat terpukul. Tidak ada niat menyakiti siapa pun. Kami hanya ingin berbagi kebahagiaan kepada warga Garut,” ujar Maula.
Namun, pernyataan Maula menuai kritik. Pasalnya, ia menyatakan bahwa pembagian makanan tidak diumumkan secara resmi, dan menyalahkan media sosial sebagai penyebar informasi makan gratis.
“Kami tidak pernah umumkan soal makan gratis. Mungkin ada kesalahpahaman. Tapi kami siap menjalani prosedur hukum bila diperlukan,” tambahnya.
Investigasi dan Tanggung Jawab Hukum: Siapa yang Harus Disalahkan?
Polda Jabar bergerak cepat. Pemeriksaan terhadap panitia pelaksana dimulai sejak malam kejadian. Unsur kelalaian tengah diselidiki, termasuk penanggung jawab keamanan acara, jumlah pintu akses, dan SOP penanganan massa.
Menurut pengamat kebijakan publik, Dr. Irwan Hudaya dari Universitas Padjadjaran, ada unsur kealpaan fatal dalam pelaksanaan acara.
“Membuat pesta rakyat berskala besar tanpa manajemen kerumunan adalah bentuk kelalaian kolektif. Dalam konteks tanggung jawab, pejabat yang menjadi tuan rumah harus ikut dimintai pertanggungjawaban,” ujarnya.
Tiga Nyawa Jadi Harga Kebahagiaan Elit
Tragedi ini tak bisa hanya dianggap sebagai kecelakaan. Ia mencerminkan timpangnya komunikasi publik antara pemegang kuasa dan rakyat kecil. Ketika pesta para elit berlangsung mewah, tiga nyawa dari kalangan rakyat biasa hilang begitu saja tanpa perlindungan, tanpa sistem, tanpa pengawasan ketat.
Tiga korban tewas dalam tragedi ini adalah:
Bripka Cecep Saepul Bahri (39), petugas kepolisian yang gugur saat menyelamatkan warga
Vania Aprilia (8), anak pedagang kecil yang tewas akibat kekurangan oksigen
Korban ketiga (masih dirahasiakan namanya oleh keluarga), seorang pria paruh baya yang juga tewas saat antre makanan
Ketika Niat Baik Tak Cukup
Pesta adalah tentang kebahagiaan. Tapi kebahagiaan yang tak terkelola dengan bijak, bisa berubah jadi malapetaka. Tragedi di Garut ini menjadi pelajaran keras: niat baik saja tidak cukup. Dibutuhkan tanggung jawab, manajemen profesional, dan kesadaran sosial dalam setiap kegiatan publik yang melibatkan massa.
Karena di tengah pesta pejabat, rakyat bisa mati tanpa suara. (*)