
Garut,Ruangrakyatgarut.id – Sebuah kasus yang sempat mencuat di tengah masyarakat Garut, mengenai seorang siswa SMKN 2 Garut yang dikabarkan putus sekolah karena tidak mampu membayar Dana Sumbangan Pendidikan (DSP), akhirnya menemukan titik terang.
Klarifikasi resmi dari pihak sekolah, komite, dan anggota legislatif membuka fakta sesungguhnya: pengunduran diri siswa tersebut bukan karena pemaksaan pembayaran DSP, melainkan karena adanya rasa minder dari pihak orang tua serta kurangnya komunikasi aktif dengan pihak sekolah.
Keterangan tersebut disampaikan langsung oleh Ketua Komite SMK Negeri 2 Garut, Dedi Kurniawan, Kepala Cabang Dinas (KCD) Pendidikan Wilayah XI Garut, Aang Karyana, serta anggota DPRD Garut dari Fraksi PDI Perjuangan, Yudha Puja Turnawan, dalam sebuah pertemuan terbuka yang digelar pada. Senin,(14/07/2025).
Klarifikasi Pihak Sekolah: Tidak Ada Penahanan Ijazah atau Raport
Ketua Komite Sekolah, Dedi Kurniawan, menegaskan bahwa tidak pernah ada penahanan ijazah, kartu ujian, atau raport bagi siswa yang belum mampu menyelesaikan kewajiban administrasi. Dari total sekitar 2.700 siswa aktif, tidak ada satupun yang mengalami perlakuan diskriminatif akibat belum membayar sumbangan pendidikan.
“Angka Rp7 juta yang disebut dalam pemberitaan adalah hasil kesanggupan awal dari pihak orang tua, bukan angka final atau pemaksaan. Kami selalu membuka ruang dialog bagi siapa pun yang kesulitan. Sayangnya, dalam kasus ini, justru pihak orang tua merasa minder dan menarik anaknya keluar dari sekolah sebelum ada proses komunikasi lanjutan,” terang Dedi.
Surat Pengunduran Diri Telah Diterima Sebelum Ujian Kenaikan Kelas
Lebih jauh, pihak sekolah menunjukkan bahwa surat pengunduran diri siswa tersebut telah diterima pada 16 Mei 2025, atau sekitar satu bulan sebelum pelaksanaan ujian kenaikan kelas. Hal ini menunjukkan bahwa keputusan tersebut bukan disebabkan oleh penahanan administrasi menjelang ujian, melainkan langkah sepihak yang diambil orang tua karena merasa tidak sanggup.
“Faktor keluarga turut memengaruhi keputusan ini. Ibu dari siswa bersangkutan berada di luar negeri sebagai pekerja migran, dan sang ayah harus mengurus beberapa adik lainnya. Mereka memilih menarik anaknya dari sekolah tanpa berkonsultasi kembali dengan kami,” tambah pihak sekolah.
Yudha Puja Turnawan: Ini Cermin Buruknya Ekosistem Pendidikan Kita
Anggota DPRD Kabupaten Garut, Yudha Puja Turnawan, yang turut hadir dalam forum tersebut menyayangkan kejadian ini. Menurutnya, kasus seperti ini bukan hanya soal DSP, tetapi menggambarkan rapuhnya komunikasi antara sekolah dan keluarga tidak mampu, serta kurangnya ruang afirmatif yang menyentuh langsung problem akar rumput.
“Angka partisipasi murni pendidikan menengah atas di Garut masih stagnan di angka 60%. Jika kita tidak membangun ekosistem sekolah yang inklusif dan ramah bagi keluarga miskin, maka anak-anak seperti ini akan terus menjadi korban sistem,” tegas Yudha.
Ia menyoroti perlunya reformasi pendekatan sekolah terhadap siswa dari keluarga kurang mampu. Sekolah dan komite, menurutnya, tidak boleh hanya menunggu orang tua datang, tetapi harus proaktif menjemput bola, termasuk melakukan kunjungan rumah untuk memahami kondisi siswa secara langsung.
“Saya membagikan video tentang kasus ini di ruang rapat DPRD sebagai bentuk kegelisahan pribadi. Karena saya takut, banyak anak di Garut tidak melanjutkan sekolah bukan karena tidak mampu secara akademik, tapi karena takut bicara soal uang,” ujar Yudha.
Bantuan Pemerintah Sebenarnya Ada, Tapi Tidak Dimanfaatkan
Yudha juga menyebut bahwa Pemkab Garut sejatinya memiliki berbagai program afirmasi pendidikan. Salah satunya melalui Program Garut Makmur dan alokasi Rp800 juta untuk bantuan siswa miskin. Selain itu, ada pula bantuan Program Indonesia Pintar (PIP) dan jalur afirmasi seperti SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu).
Namun, menurutnya, semua program tersebut akan sia-sia jika tidak disosialisasikan dan tidak dikawal oleh sekolah secara intensif. Dalam kasus ini, siswa bersangkutan bahkan tidak tercatat sebagai penerima PIP, dan tidak mengakses jalur SKTM saat pendaftaran.
“Sayang sekali, ini seperti nasi yang sudah menjadi bubur. Tapi jangan sampai bubur ini basi. Saya harap siswa ini tetap bisa melanjutkan pendidikan, entah melalui program kesetaraan seperti Paket C atau pindah ke sekolah terdekat yang lebih memungkinkan,” harap Yudha.
Jalan Keluar: Pindah Sekolah atau Paket C
Salah satu solusi yang kini sedang dijajaki adalah memindahkan siswa ke sekolah lain yang lebih dekat dengan domisili, atau mendorongnya mengikuti program pendidikan nonformal Paket C.
Beberapa pihak termasuk anggota legislatif dan Dinas Pendidikan tengah mengupayakan agar siswa tidak benar-benar kehilangan masa depan.
KCD Pendidikan Wilayah XI Garut, Aang Karyana, menegaskan bahwa pihaknya mendukung penuh segala upaya pemulihan hak pendidikan siswa. Ia juga mendorong agar komite sekolah ke depan lebih berperan aktif dalam merespons dinamika sosial-ekonomi para peserta didik.
“Pendidikan adalah hak semua anak. Kita semua harus menjadi jembatan agar anak-anak tidak kehilangan masa depan hanya karena perasaan takut atau minder,” ujarnya.
Sebuah Cermin untuk Introspeksi
Kasus ini menjadi refleksi penting bagi seluruh ekosistem pendidikan di Kabupaten Garut. Tidak cukup hanya memiliki program bantuan atau regulasi, yang lebih penting adalah bagaimana semua pihak membangun komunikasi terbuka, empatik, dan inklusif terhadap siswa dan keluarga yang mengalami keterbatasan.
Ke depan, DPRD Garut juga mendorong adanya regulasi yang lebih tegas tentang larangan pungutan atau sumbangan pendidikan yang bersifat memaksa, serta mengharapkan kolaborasi antara sekolah, komite, dan pemerintah daerah menjadi lebih adaptif terhadap kebutuhan masyarakat miskin.
“Jangan sampai ada tunas bangsa yang layu sebelum berkembang. Pendidikan bukan hak istimewa bagi yang mampu, tapi hak dasar bagi semua,” pungkas Yudha. (**)