
Garut,Ruangrakyatgatut.id – Jauh dari hiruk pikuk kantor pemerintahan dan riuhnya seremonial program bantuan sosial, ada sebuah kehidupan yang nyaris terlupakan di sudut Kampung Cilengkeng, Desa Wangunjaya, Kecamatan Banjarwangi, Kabupaten Garut, Jawa Barat.
Di sanalah, seorang warga bernama Bapak Uju bersama istri dan ketiga anaknya bertahan hidup dalam rumah yang sudah nyaris rubuh dindingnya bilik, atapnya bocor, dan lantainya hanya tanah padat. Lima orang hidup dalam keterbatasan yang bahkan tak lagi bisa disebut layak.
Ironi dari Program yang Gagal Menyentuh Akar Masalah
Rumah yang ditempati keluarga Bapak Uju seharusnya masuk kategori prioritas dalam program Rutilahu (Rumah Tidak Layak Huni) yang dicanangkan oleh pemerintah provinsi maupun kabupaten. Namun, hingga kini, tidak satu pun bantuan menyentuh rumah kecil yang berada di RT 02/RW 05 itu.
Padahal, berbagai laporan program kerap menyebut bahwa puluhan rumah di Kecamatan Banjarwangi telah direnovasi melalui bantuan Rutilahu, CSR, hingga dana desa. Lantas, mengapa keluarga Uju tak tercatat? Atau justru sengaja diabaikan?
“Sudah lama kami begini, kadang kalau hujan angin kami hanya bisa berlindung di pojokan, takut atapnya runtuh,” ujar Uju dengan suara parau, matanya menerawang. Tangannya menunjukkan bagian atap yang sudah bolong, ditambal seadanya dengan plastik bekas dan karung beras saat diwawancarai awak media. Kamis,(10/07/2025).
Pemerintah Desa dan Kecamatan Bungkam
Dalam penelusuran tim wartawan RRG, ditemukan bahwa tak ada pendataan ulang yang dilakukan oleh pihak desa maupun kecamatan dalam dua tahun terakhir terkait warga miskin ekstrem. Beberapa sumber menyebutkan, pendataan hanya dilakukan secara administratif dari data lama, tanpa verifikasi lapangan yang memadai.
“Seharusnya ini tanggung jawab pemerintah desa. Minimal RT, RW, dan kepala dusun harus peka. Tapi ini kan bukan soal tidak tahu, ini soal tidak peduli,” ujar seorang aktivis sosial lokal yang enggan disebut namanya.
Hal ini menimbulkan pertanyaan serius: ke mana aliran dana bantuan pemerintah yang seharusnya digunakan untuk menyentuh warga seperti Bapak Uju? Apakah habis oleh permainan kuota, atau hanya disalurkan kepada kelompok-kelompok tertentu?
Kemiskinan yang Diwariskan
Kondisi ekonomi keluarga Bapak Uju begitu memprihatinkan. Ia hanya bekerja serabutan, terkadang sebagai buruh tani, kadang sebagai pemungut kayu bakar. Istrinya pun tak memiliki penghasilan tetap. Tiga anak mereka nyaris putus sekolah karena keterbatasan biaya. Di zaman serba digital seperti sekarang, keluarga ini bahkan tidak memiliki akses listrik yang memadai, apalagi jaringan internet.
“Ada anaknya yang pintar, tapi dia malu sekolah karena bajunya robek-robek,” ujar tetangga sekitar, menahan emosi. “Ini bukan soal malas atau tidak mau berubah. Tapi bagaimana bisa bangkit kalau sekadar tempat berteduh pun tidak punya jaminan?”
Refleksi dan Tuntutan Publik
Tragedi sosial yang dialami Bapak Uju bukan satu-satunya di Garut. Di berbagai pelosok desa lain, masih banyak warga yang bernasib sama. Mereka hidup dalam bayang-bayang program yang tak pernah benar-benar hadir untuk mereka.
Di sisi lain, Pemerintah daerah, khususnya dinas sosial dan DPKP (Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman), perlu membuka mata dan berhenti mengandalkan laporan “bersih-bersih” dari bawahannya.
Ini saatnya audit sosial independen dilakukan terhadap seluruh program bantuan berbasis rumah layak huni dan data kemiskinan ekstrem di Kabupaten Garut. Jangan sampai slogan “Garut Taat, Garut Sejahtera” hanya menjadi hiasan baliho, tanpa makna nyata di lapangan.
Keluarga seperti Bapak Uju tidak butuh belas kasihan. Mereka butuh haknya dipenuhi, dijamin, dan dipulihkan. Dan itu adalah kewajiban negara. (AKA)