
Oplus_0
Garut,Ruangrakyatgarut.id – Kritik tajam kembali menggema dari suara pelaku usaha lokal. H. Riki Megawan, SE, seorang pengusaha muda asal Kabupaten Garut, menyerukan reformasi mendesak dalam sistem pengadaan barang dan jasa yang saat ini dinilainya telah kehilangan arah dan kepekaan terhadap mutu serta keadilan.
Dalam konferensi pers yang digelar di kawasan Jalan Raya Bayongbong pada Selasa (08/07/2025), Riki tak segan menelanjangi kelemahan sistem tender proyek pemerintah daerah yang menurutnya hanya menjadi ajang formalitas, tanpa mempertimbangkan esensi pembangunan: kualitas dan kebermanfaatan untuk masyarakat.
“Pokja hari ini terlalu sibuk urus kertas, lupa memverifikasi isi di balik dokumen. Yang penting lengkap di atas meja, soal kapasitas teknis? Diabaikan,” kata Riki dengan nada kritis.
Dokumen Lengkap, Kinerja Bobrok
Riki membeberkan bahwa Pokja seringkali hanya terpaku pada dokumen administrasi legalitas perusahaan, sertifikat, dan persyaratan umum lainnya. Namun aspek teknis seperti kelayakan alat berat, pengalaman lapangan, hingga kecukupan tenaga ahli nyaris tidak disentuh secara menyeluruh.
“Kita bicara proyek infrastruktur miliaran rupiah. Tapi kenapa pelaksananya justru perusahaan yang tidak punya kantor tetap? Bahkan tenaga kerjanya hanya rekrut dadakan di lapangan. Ini bukan hanya soal lucu, ini mengkhianati amanah publik,” tegasnya.
Ia menekankan bahwa akibat kelalaian tersebut, banyak proyek di Garut yang hasilnya di bawah standar. Salah satunya adalah temuan Riki soal pembangunan gedung yang di atas kertas dirancang dua lantai, tapi di lapangan hanya terealisasi sebagian.
“Spesifikasi teknis di RAB seringkali tidak dievaluasi serius. Bahkan ada indikasi pengulangan item pekerjaan dengan pola copy-paste yang hanya menguntungkan penyedia, bukan masyarakat,” jelasnya.
Monopoli Halus dan Ketimpangan Akses
Kritik Riki tak berhenti pada aspek teknis. Ia juga menyinggung ketimpangan akses terhadap proyek-proyek pemerintah yang kerap hanya berputar pada pelaku usaha tertentu. Menurutnya, ada pola sistematis yang membuat pengusaha kecil dan menengah sulit bersaing, sekalipun mereka memiliki kompetensi dan semangat kerja tinggi.
“Coba lihat siapa yang selalu menang proyek besar. Itu-itu saja. Bahkan ada yang tidak punya kantor, tidak punya alat, tapi selalu lolos. Apa tidak ada yang curiga? Pemerintah jangan pura-pura buta,” sindirnya tajam.
Riki menilai kondisi ini sebagai bentuk monopoli terselubung yang semakin menjauhkan prinsip keadilan dalam distribusi proyek daerah. Ia mendorong agar pemerintah membuka ruang yang lebih luas bagi pengusaha lokal yang benar-benar siap bekerja, bukan hanya siap mengajukan dokumen.
“Pemerintah jangan hanya jadi mesin pembagi proyek. Harus jadi pengawal kualitas dan pemerataan. Kalau yang dipilih hanya yang punya ‘akses kekuasaan’, maka yang dikorbankan adalah kualitas pembangunan itu sendiri,” tambahnya.
Sertifikasi Abal-Abal dan Pengawasan Mandul
Sorotan berikutnya mengarah pada sistem pelatihan dan sertifikasi teknis yang selama ini lebih bersifat formalitas. Riki menyebut banyak penyedia jasa yang mengantongi sertifikat tanpa melalui pelatihan nyata atau evaluasi kapabilitas.
“Label bersertifikat itu lucu kalau hanya dibeli di atas meja. Harusnya sertifikat itu lahir dari kompetensi, bukan dari koneksi,” kritiknya.
Riki juga mempertanyakan lemahnya pengawasan di lapangan. Menurutnya, banyak SOP yang seharusnya diawasi ketat justru tidak berjalan karena pengawas proyek bersikap pasif, bahkan tak jarang diduga ‘bermain mata’ dengan pelaksana.
“SOP keselamatan kerja, standar mutu beton, dan spesifikasi teknis itu bukan hanya simbol. Tapi pengawas hari ini banyak yang lemah atau sengaja diam. Kalau begitu, buat apa kita punya sistem?” cetusnya dengan geram.
Tuntutan Evaluasi Total: “Jangan Pertahankan Sistem Gagal”
Sebagai penutup, H. Riki Megawan mendesak pemerintah daerah Garut untuk tidak terus-menerus menutup mata. Ia menyerukan adanya reformasi total sistem pengadaan barang dan jasa yang lebih transparan, terukur, dan berpihak pada kualitas serta pelaku lokal.
“Evaluasi menyeluruh harus dilakukan. Perbaiki regulasinya, perketat verifikasinya, dan buka aksesnya. Jangan biarkan Garut terjebak dalam sistem yang membusuk pelan-pelan,” ungkapnya.
Ia juga menekankan pentingnya peran serta masyarakat dan lembaga independen dalam pengawasan proyek. Menurutnya, pembenahan sistem tender bukan sekadar urusan administrasi, tapi juga pertarungan moral antara integritas dan kepentingan jangka pendek.
“Garut Hebat jangan cuma jadi slogan. Mari kita isi dengan keberanian untuk merombak sistem rusak, dan membangun pondasi yang adil bagi semua. Kalau kita terus diam, maka kita sedang mewariskan kerusakan pada generasi selanjutnya,” pungkasnya lantang. (**)