
Garut,Ruangrakyatgarut.id – Pernyataan yang dilontarkan politisi Jawa Barat Dedi Mulyadi, dalam sebuah video yang kini viral, telah memicu polemik nasional dan mengguncang dunia pers di Jawa Barat. Dalam video tersebut, Dedi seorang politisi yang saat ini menjabat sebagai Gubernur Jawa Barat terpilih pasca Pilkada 2024, terdengar menyindir keberadaan wartawan yang menurutnya hanya datang untuk meminta amplop.
Pernyataan yang disampaikan dalam gaya santai tersebut ternyata menimbulkan reaksi serius dari insan pers. Tak kurang dari dua tokoh penting media Jawa Barat, Diki Kusdian dan Deni Mardiana, secara tegas meminta Dedi Mulyadi segera mengklarifikasi sekaligus meminta maaf kepada seluruh jurnalis di Indonesia, khususnya di Jawa Barat.
Ucapan yang Melukai Martabat Profesi
Bagi Diki dan Deni, apa yang diucapkan Dedi Mulyadi bukanlah sekadar candaan politik, melainkan bentuk pelecehan simbolik terhadap profesi wartawan. Mereka menilai pernyataan itu secara langsung merendahkan kerja jurnalistik yang selama ini berdiri sebagai salah satu pilar demokrasi.
“Kami memohon dengan sangat kepada Gubernur Jawa Barat terpilih, Kang Dedi Mulyadi, untuk segera mengklarifikasi ucapannya. Ini bukan soal suka atau tidak suka, tapi ini menyangkut kehormatan profesi kami,” tegas Diki Kusdian, wartawan Garut yang juga dikenal sebagai aktivis media lokal,Kamis (03/07/2025).
Senada disampaikan Deni Mardiana, jurnalis senior asal Bandung yang juga aktif dalam forum-forum demokrasi dan kebebasan pers. Deni menilai pernyataan Dedi Mulyadi mengandung generalisasi berbahaya yang dapat membentuk stigma negatif di tengah masyarakat terhadap semua wartawan.
“Kalau ada oknum wartawan yang tidak beretika, itu persoalan individual yang harus diselesaikan lewat Dewan Pers atau mekanisme etik lainnya. Tapi tidak bisa satu oknum dijadikan representasi profesi,” ujarnya.
Tiga Tuntutan untuk Dedi Mulyadi
Melalui pernyataan sikap yang disusun bersama sejumlah jurnalis lainnya, Diki dan Deni menuntut tiga hal utama yang harus segera dilakukan oleh Dedi Mulyadi:
Klarifikasi terbuka kepada publik, menjelaskan konteks dan maksud pernyataannya yang menyebut wartawan sebagai peminta amplop.
Permintaan maaf resmi kepada seluruh insan pers, khususnya di Jawa Barat, atas ucapan yang dianggap menghina profesi jurnalistik.
Komitmen publik dan tertulis untuk menjaga dan mendukung kemerdekaan pers, serta membangun relasi yang sehat dengan media.
“Kami tidak akan tinggal diam jika profesi kami dilecehkan. Kami jurnalis, bukan pengemis. Kami menulis dengan idealisme dan risiko, bukan dengan amplop,” tegas Diki.
Solidaritas Wartawan Semakin Menguat
Pernyataan Dedi Mulyadi telah membangkitkan gelombang solidaritas luas di kalangan wartawan. Forum jurnalis Jawa Barat yang berisi para pewarta dari Garut, Tasikmalaya, Ciamis, Sukabumi, Cirebon, Subang, dan daerah lainnya, telah menyatakan siap melakukan aksi bersama jika dalam waktu tujuh hari tidak ada tanggapan dari pihak Dedi Mulyadi.
“Kami tidak menginginkan konfrontasi. Tapi jika tidak ada klarifikasi, kami akan turun aksi secara damai dan terhormat di Gedung Sate dan Gedung DPRD Jawa Barat,” ungkap Deni Mardiana, yang ditunjuk menjadi salah satu koordinator aksi tersebut.
Lebih dari sekadar menyuarakan kekecewaan, para jurnalis ini juga ingin menyampaikan pesan moral kepada semua tokoh publik, bahwa ucapan mereka memiliki dampak, dan setiap kata harus dipertanggungjawabkan.
Dewan Pers: Kritik Harus Proporsional, Bukan Diskreditasi
Ketua Dewan Pers, Prof. Asep Syahril, turut memberikan tanggapan atas kontroversi ini. Dalam konferensi pers daring, ia menekankan bahwa kritik terhadap profesi pers harus dilakukan secara bijak dan tidak mengarah pada penghinaan kolektif.
“Jika ada penyimpangan, ada mekanismenya. Tapi jangan rusak profesi ini hanya karena satu-dua oknum. Jangan menyiram satu ladang dengan racun hanya karena ada satu rumput liar,” kata Asep.
Dewan Pers juga berencana untuk memanggil pihak-pihak terkait guna menyelesaikan ketegangan yang berkembang dan menjaga keharmonisan antara media dan pejabat publik.
Praktisi Hukum: Ada Unsur Kekerasan Simbolik
Sementara itu, praktisi hukum Garut, Taufik Hidayat, SH., menilai bahwa pernyataan Dedi Mulyadi bisa dikategorikan sebagai bentuk kekerasan simbolik terhadap profesi pers. Ia menyatakan bahwa opini semacam itu jika dibiarkan, akan menciptakan iklim represif dan berbahaya terhadap kebebasan pers.
“Ini bukan sekadar salah ucap. Ada bobot kekuasaan dalam ucapannya. Itu bisa memicu diskriminasi terhadap wartawan di lapangan,” jelasnya.
Pers Akan Tetap Berdiri Tegak
Di tengah berbagai tekanan dan stigma, Diki dan Deni menegaskan bahwa insan pers tidak akan mundur. Mereka akan tetap menjaga komitmen terhadap kebenaran, menyuarakan aspirasi rakyat, dan mengawal jalannya pemerintahan secara kritis dan bertanggung jawab.
“Kami bukan mencari musuh. Kami hanya ingin profesi ini tetap bermartabat. Jika tokoh publik bisa bicara sembarangan tanpa kontrol, maka demokrasi akan tergelincir,” pungkas Deni.
“Kami masih percaya Kang Dedi sebagai pemimpin yang bijak. Tapi klarifikasi itu mutlak. Pers harus dihormati, bukan dihina,” tutup Diki. (**)