
Garut,RuangRakyatGarut.id – Penyaluran Bantuan Langsung Tunai (BLT) Dana Desa yang seyogianya menjadi pengaman sosial bagi warga miskin, justru memunculkan tanda tanya besar di kalangan masyarakat Desa Gandamekar, Kecamatan Kadungora, Kabupaten Garut, Jawa Barat.
Sejumlah warga menyuarakan keluhan atas dugaan penyimpangan dalam proses pendataan dan distribusi bantuan. Menanggapi hal ini, pengamat sosial dan hukum Garut, Taupik Hidayat, S.H., buka suara dengan nada tegas dan penuh keprihatinan.
Dalam wawancara khusus yang dilakukan pada. Kamis malam, 19 Juni 2025, Taupik menyatakan bahwa bantuan sosial semestinya menjadi instrumen keadilan sosial, bukan celah penyalahgunaan kekuasaan. Ia menegaskan bahwa jika benar telah terjadi praktik maladministrasi di Desa Gandamekar, maka dampaknya sangat serius dan bisa mengguncang kepercayaan publik terhadap pemerintah desa bahkan negara secara keseluruhan.
“Jika laporan masyarakat ini benar adanya, maka ini bukan hanya soal salah data atau salah prosedur. Ini sudah menyentuh aspek fundamental: kepercayaan rakyat terhadap pemerintah. Dan kalau kepercayaan itu runtuh, krisis sosial bisa saja muncul tanpa kita sadari,” ungkap Taupik dengan nada serius.
Laporan Warga: Bantuan Tidak Tepat Sasaran, Diduga Sarat Nepotisme
Keluhan yang diterima oleh tim redaksi RuangRakyatGarut.id menyebutkan bahwa terdapat beberapa penerima bantuan yang bukan termasuk kategori miskin atau rentan. Justru, yang bersangkutan memiliki hubungan kekerabatan dekat dengan aparat desa.
Menurut penuturan warga, ada kasus di mana penerima BLT adalah anak dari perangkat desa yang diketahui memiliki usaha dan penghasilan tetap. Sementara di sisi lain, ada janda lansia yang tinggal sendiri dan tidak memiliki penghasilan tetap, namun justru tidak tercatat sebagai penerima bantuan.
“Kami tidak iri, kami hanya ingin bantuan itu adil dan diberikan kepada yang memang membutuhkan,” ujar salah satu warga yang enggan disebutkan namanya.
Menanggapi hal ini, Taupik menilai bahwa jika benar praktik semacam itu terjadi, maka itu merupakan bentuk nepotisme yang secara moral, sosial, dan hukum tidak dapat dibenarkan.
“Nepotisme dalam program bantuan sosial adalah bentuk penghianatan terhadap prinsip keadilan sosial. Apalagi jika dilakukan secara sistematis dengan tujuan memperkuat jaringan kuasa lokal,” katanya.
Bantuan Sosial Jangan Dijadikan Alat Politik atau Dinasti Desa
Taupik juga mengingatkan bahwa dalam konteks sosial dan politik, BLT tidak boleh dijadikan alat politik balas budi ataupun strategi memperkuat kekuasaan keluarga di level desa. Ia menyebut fenomena “dinasti desa” yang mulai muncul di sejumlah wilayah sebagai potensi bahaya baru bagi demokrasi lokal.
“Kita harus waspada terhadap praktik di mana BLT dijadikan instrumen politik terselubung. Bantuan tidak boleh digunakan untuk menambah simpati, mempertahankan kekuasaan, atau sebagai hadiah untuk pendukung,” ujarnya.
Taupik memperingatkan bahwa jika praktik seperti itu dibiarkan tanpa pengawasan dan penindakan, maka integritas pemerintahan desa akan runtuh, dan masyarakat akan kehilangan rasa percaya terhadap pemimpinnya sendiri.
Serukan Investigasi Independen dan Partisipasi Masyarakat
Lebih jauh, Taupik mendorong agar lembaga pengawasan, seperti Inspektorat Daerah, Kejaksaan Negeri, hingga Ombudsman RI, segera turun tangan untuk menyelidiki laporan masyarakat tersebut. Ia menilai bahwa keterlibatan lembaga eksternal sangat penting untuk menjaga objektivitas dan menghindari konflik kepentingan.
“Kita tidak bisa berharap pada pengawasan internal desa saja. Harus ada audit dan investigasi independen agar kebenaran terungkap, dan jika memang ada pelanggaran, maka harus ada sanksi tegas,” tegasnya.
Ia juga mengajak masyarakat untuk berani melapor dengan tetap memperhatikan keamanan dan kerahasiaan identitas pelapor.
“Jangan takut. Suara rakyat yang jujur adalah kekuatan utama dalam menjaga keadilan sosial. Negara harus memastikan pelapor dilindungi dan tidak mendapat intimidasi dalam bentuk apa pun,” seru Taupik.
Kepercayaan Publik adalah Harga Mati
Taupik menegaskan bahwa kepercayaan masyarakat adalah fondasi utama dari sistem pemerintahan yang demokratis dan efektif.
Ketika bantuan sosial seperti BLT yang seharusnya menyentuh kebutuhan dasar warga miskin justru menjadi ajang manipulasi dan penyimpangan, maka yang terancam bukan hanya ketertiban sosial, tetapi juga legitimasi pemerintah di mata rakyat.
“Rakyat itu sabar, tapi kalau rasa keadilannya terus-menerus diinjak, maka yang bangkit bukan hanya kemarahan, tapi juga perlawanan. Ini bukan soal bantuan Rp300 ribu, ini soal martabat dan rasa keadilan. Kalau negara gagal hadir di situ, maka kita sedang menuju pada kehancuran kepercayaan,” tutupnya. (*)