
Garut,RuangRakyatGarut.id – Ketegangan antara organisasi masyarakat dan pemerintah daerah kembali menjadi sorotan publik di Kabupaten Garut. Isu yang mencuat kali ini datang dari Ketua DPD Distrik Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia (GMBI) Kabupaten Garut, Ganda Permana, SH, yang mengungkapkan kekecewaannya karena diduga nomor WhatsApp pribadinya telah diblokir oleh Bupati Garut, Abdusy Syakur Amin.
Pernyataan mengejutkan tersebut disampaikan Ganda dalam sebuah forum terbuka yang disiarkan langsung melalui kanal TikTok Ruang Rakyat Garut pada Minggu malam, 15 Juni 2025. Diskusi publik bertema “Masih Adakah Ruang Dialog antara Rakyat dan Pemimpin?” tersebut sontak menjadi pusat perhatian, diikuti ratusan penonton secara daring, dan menuai tanggapan beragam dari netizen serta tokoh-tokoh lokal.
Dalam kesempatan itu, Ganda Permana mengaku kecewa karena merasa diputus akses komunikasinya secara sepihak oleh Bupati, padahal sebelumnya hubungan komunikasi antara keduanya berjalan baik dan terbuka. Ia menganggap hal ini sebagai bentuk pengabaian terhadap aspirasi masyarakat yang selama ini diperjuangkan GMBI.
“Kami ini Lembaga Swadaya Masyarakat legal yang aktif menyuarakan kepentingan rakyat kecil. Ketika saluran komunikasi dengan kepala daerah tiba-tiba terputus, tentu ini mengecewakan. Bukan soal pribadi, tapi soal ruang partisipasi,” ujar Ganda tegas dalam forum tersebut. Senin, (16/06/2025).
Namun tensi yang sempat meninggi mulai mereda setelah Bupati Garut, Abdusy Syakur Amin, memberikan klarifikasi langsung. Dalam pernyataannya, ia mengakui bahwa memang sempat terjadi gangguan komunikasi antara dirinya dengan Ketua GMBI, namun ia menegaskan tidak ada niat buruk atau sikap menutup ruang dialog.
“Saya akui, komunikasi memang sempat tersendat. Jika itu membuat yang bersangkutan merasa tersinggung atau tidak dihargai, saya secara pribadi sudah menyampaikan permintaan maaf. Kami ingin semua pihak tetap bisa berdialog demi kebaikan bersama,” ungkap Syakur.
Pernyataan Bupati ini disampaikan dengan nada diplomatis dan dinilai banyak pihak sebagai bentuk kedewasaan seorang pemimpin dalam menghadapi dinamika relasi dengan kelompok masyarakat sipil. Langkah ini pun disambut baik oleh Ganda Permana, yang pada kesempatan yang sama menyatakan kesediaannya untuk membuka lembaran baru dan menjaga hubungan baik antara GMBI dan pemerintah daerah.
“Kami siap melakukan evaluasi. Jika ada sikap atau pernyataan saya yang kurang berkenan selama ini, saya juga menyampaikan permohonan maaf. Intinya, kami ingin kembali ke jalur komunikasi yang sehat dan terbuka,” ucap Ganda.
Diskusi yang berlangsung hangat namun tertib itu turut menghadirkan berbagai pandangan dari publik, termasuk dari para pengamat dan tokoh masyarakat. Salah satunya, pengamat komunikasi politik dan pemerintahan daerah, Rahman Rukmana, menilai fenomena ini sebagai cerminan tantangan komunikasi di era digital, terutama bagi pejabat publik yang dituntut untuk terbuka dan responsif.
“Kepala daerah bukan hanya pemimpin administratif, tapi juga komunikator publik. Ketika komunikasi dengan elemen masyarakat tersumbat, hal itu bisa menimbulkan kesalahpahaman dan memicu kegaduhan. Maka transparansi dan dialog menjadi sangat penting,” katanya.
Ia juga menilai kehadiran platform seperti Ruang Rakyat Garut menjadi sangat relevan dalam konteks demokrasi digital saat ini. Menurutnya, ruang-ruang diskusi daring yang netral dan inklusif bisa menjadi jembatan yang efektif antara rakyat dan penguasa, apalagi menjelang Pilkada 2025 yang penuh dinamika dan potensi polarisasi.
Respons masyarakat terhadap kejadian ini pun beragam. Sebagian besar netizen memuji sikap legowo kedua belah pihak yang memilih berdamai dan kembali membangun komunikasi yang positif.
Namun ada pula yang mempertanyakan kenapa hal seperti ini bisa terjadi di tengah era keterbukaan informasi.
Di sisi lain, moderator acara menutup diskusi malam itu dengan pesan yang menyejukkan:
“Kita tidak sedang mencari siapa yang paling benar. Tapi kita sedang berupaya menjaga agar ruang bicara antara rakyat dan pemimpin tidak hilang. Kalau ruang itu tertutup, maka akan banyak prasangka. Tapi kalau terbuka, akan tumbuh saling percaya.”
Kini, publik Garut menanti langkah konkret berikutnya dari kedua belah pihak. Akankah dialog terus berjalan pasca klarifikasi ini? Akankah pola komunikasi antara organisasi masyarakat dan pemerintah daerah semakin baik ke depan?
Bagi masyarakat, insiden ini seharusnya menjadi cermin bahwa relasi sosial-politik tidak selalu tentang dominasi atau oposisi, tetapi tentang kolaborasi dan mutual respect. Sebab, membangun daerah tak cukup hanya dengan visi seorang pemimpin, melainkan juga mendengar denyut suara rakyat dari berbagai arah. (*)