
Oplus_0
Garut,RuangRakyatGarut.id – Seratus hari pertama masa kepemimpinan Bupati dan Wakil Bupati Garut yang baru, mulai menuai sorotan tajam dari berbagai kalangan. Salah satu kritik paling vokal datang dari Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI) Kabupaten Garut. Organisasi kepemudaan yang dikenal kritis terhadap jalannya pemerintahan ini menyuarakan kekecewaannya atas minimnya capaian konkret yang dirasakan masyarakat selama lebih dari tiga bulan pemerintahan berjalan.
Dalam forum diskusi publik yang digelar FPPI di kawasan Tarogong, Sabtu (15/06/2025), Ketua Pimpinan Kota (Pimkot) FPPI Garut, Feri Nurdiansyah, membeberkan sejumlah catatan evaluatif yang menunjukkan bahwa 100 hari kerja Bupati dan Wakil Bupati belum menunjukkan arah yang jelas dan terukur dalam menjawab persoalan strategis di Garut.
“Masyarakat kita sedang menanti perbaikan nyata, bukan sekadar janji atau seremoni. Tapi apa yang kita saksikan selama ini justru lebih banyak narasi ketimbang aksi. Jangan jual mimpi, jangan berandai-andai. Pemerintahan ini harus segera menyentuh akar masalah,” tegas Feri.
Kritik Tajam terhadap Pendekatan Sloganistis
Feri menyayangkan bahwa strategi komunikasi politik kepala daerah terkesan lebih difokuskan pada slogan, publikasi, dan pencitraan, ketimbang pelaksanaan kebijakan substansial. Ia mencontohkan bagaimana peluncuran program-program strategis dilakukan dengan seremoni besar-besaran, namun tanpa kejelasan pelaksanaan teknis di lapangan.
“Kalau hanya menebar slogan, itu tidak sulit. Tapi masyarakat menanti pelaksanaan yang terukur. Kita ingin lihat langkah konkret, bukan sekadar foto di media sosial atau baliho-baliho besar. Ini bukan soal retorika, ini soal nasib rakyat,” ujarnya.
FPPI menyoroti lemahnya kinerja pemerintah daerah dalam merespons isu-isu utama seperti kemiskinan, pengangguran, kerusakan infrastruktur, dan kualitas pelayanan publik. Menurut Feri, saat ini masih banyak sekolah yang kekurangan sarana belajar, petani kesulitan mendapatkan pupuk dan akses pasar, serta pemuda Garut yang kehilangan arah karena minimnya kebijakan pemberdayaan.
“Anak-anak kita masih belajar di ruang kelas yang rusak, tenaga kesehatan masih kekurangan fasilitas, dan para pemuda butuh ruang berdaya. Tapi yang disajikan ke publik hanya liputan acara, bukan laporan pencapaian,” lanjutnya.
Partisipasi Publik yang Terpinggirkan
FPPI juga mengkritisi lemahnya ruang partisipasi masyarakat dalam menyusun agenda pembangunan daerah. Menurut Feri, proses perencanaan pembangunan yang ideal seharusnya bersifat partisipatif, transparan, dan inklusif. Namun kenyataan di lapangan, lanjutnya, menunjukkan bahwa banyak kebijakan strategis lahir tanpa dialog publik yang memadai.
“Rakyat itu subjek pembangunan, bukan hanya objek yang diam-diam disuruh menerima hasilnya. Pemerintah harus mulai melibatkan komunitas, organisasi masyarakat sipil, akademisi, dan tokoh-tokoh lokal untuk duduk bersama membahas arah pembangunan,” katanya.
FPPI juga mengingatkan bahwa ruang demokrasi harus dijaga. Suara-suara kritis seharusnya tidak dianggap sebagai pengganggu, melainkan mitra strategis dalam menjaga akuntabilitas pemerintah.
“Kami tidak anti terhadap pemerintah. Tapi ketika pemerintah salah arah, kami wajib mengingatkan. FPPI akan tetap menjadi kekuatan sipil yang berdiri di barisan rakyat kecil,” ucap Feri dengan nada serius.
Desak DPRD Bertindak Tegas
Dalam kesempatan itu, Feri turut mengingatkan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Garut untuk menjalankan fungsi pengawasan secara optimal. Ia menyatakan bahwa lembaga legislatif daerah seharusnya menjadi penjaga keseimbangan kekuasaan, bukan justru menjadi pelengkap atau pembenaran terhadap langkah eksekutif.
“DPRD jangan jadi stempel. Mereka dipilih rakyat untuk mengawasi, bukan untuk diam dan ikut bermain dalam drama pencitraan. Kami akan ingatkan mereka juga kalau sudah terlalu nyaman di zona aman,” tegasnya.
FPPI menyatakan akan terus mengawal jalannya pemerintahan daerah, baik di dalam maupun di luar parlemen jalanan. Mereka juga berkomitmen melakukan advokasi terhadap kelompok-kelompok masyarakat yang suaranya belum didengar.
Menanti Aksi Balasan Pemerintah
Pernyataan FPPI ini menjadi salah satu evaluasi keras yang mulai merebak dari berbagai unsur masyarakat sipil di Garut. Evaluasi 100 hari kerja ini bukan hanya menjadi ajang pengumpulan catatan, tetapi juga menjadi tolak ukur awal dari arah pemerintahan ke depan.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada tanggapan resmi dari pihak Bupati maupun Wakil Bupati Garut atas kritik FPPI. Namun tekanan publik agar pemerintahan segera menunjukkan keberpihakan yang jelas terhadap rakyat bawah semakin kuat.
“Kami tidak akan berhenti bersuara. Jika suara kami dibungkam, maka jalanan akan menjadi ruang demokrasi yang kami pakai. Karena kami percaya, suara rakyat tidak boleh dikalahkan oleh narasi panggung kekuasaan,” pungkas Feri Nurdiansyah. (*)