
Garut,Ruangrakyatgarut.id – Seratus hari pertama masa kerja Pemerintah Kabupaten Garut, Jawa Barat di bawah kepemimpinan Bupati dan Wakil Bupati baru Syakur-Putri yang mengusung slogan “Garut Hebat” justru menimbulkan pertanyaan besar di tengah masyarakat.
Harapan yang dulu melambung tinggi kini berbalik menjadi keluhan dan kekecewaan. Janji-janji politik yang pernah dikumandangkan saat kampanye dinilai masih jauh dari kenyataan. Bahkan, banyak pihak mulai menyebut kinerja awal mereka sebagai “bulsit politik” omong kosong belaka.
Dalam masa kampanye, pasangan pemimpin baru ini menjanjikan berbagai program unggulan: perbaikan pelayanan publik, pemberantasan kemiskinan, pemberdayaan UMKM, peningkatan infrastruktur, pendidikan berkualitas, dan reformasi birokrasi.
Semua dikemas dalam narasi perubahan besar untuk menjadikan Garut lebih baik. Namun kini, suara di lapangan justru menggambarkan ketimpangan antara ekspektasi dan realisasi.
Rakyat Menjerit, Janji Tinggal Gema
Warga dari berbagai kecamatan mengeluhkan belum adanya perubahan berarti yang mereka rasakan secara langsung. Juju Juariah (52), warga desa Cibunar,Tarogong Kidul, mengaku kecewa karena tidak melihat gebrakan nyata dari pemerintah baru,.
“Waktu kampanye, mereka seolah datang membawa harapan. Tapi sekarang, kami kembali harus berhadapan dengan realita yang tidak berubah. Harga sembako naik, jalan rusak masih dibiarkan, pelayanan kesehatan lambat, belum lagi pengangguran yang makin banyak dan masih banyak rumah rusak bolong-bolong apabila terkena hujan rumahnya banjir nyaris seperti kolam ikan ,” ujar Juju kepada wartawan pada. Senin, (09/06/2025).
Keluhan serupa datang dari para pelaku UMKM. Mereka mengaku belum melihat kebijakan konkret yang benar-benar memudahkan usaha kecil untuk berkembang.
“Katanya akan ada program bantuan, pelatihan, akses modal. Sampai sekarang, jangankan bantuan, informasi pun tidak jelas,” keluh Asep, pengusaha kuliner kecil di Kecamatan Tarogong Kaler.
Pengamat: 100 Hari Bukan Soal Selesai, Tapi Soal Serius
Ahirudin Yunus, aktivis muda Garut yang kerap mengawal isu-isu sosial-politik, menyatakan bahwa 100 hari kerja memang tidak cukup untuk menuntaskan persoalan daerah. Namun, periode ini penting sebagai indikator arah dan keseriusan sebuah pemerintahan.
“Masyarakat tidak menuntut semuanya selesai dalam tiga bulan. Tapi publik berhak melihat ada langkah awal yang meyakinkan. Sayangnya, yang terlihat sekarang justru kebingungan arah dan tidak adanya program prioritas yang jelas,” katanya.
Ia menambahkan bahwa istilah “bulsit politik” bukan muncul tanpa alasan. Janji-janji bombastis tanpa eksekusi hanya akan memperparah krisis kepercayaan masyarakat terhadap pemimpin.
LSM: Jangan Permainkan Harapan Publik
Nada keras juga datang dari kalangan organisasi masyarakat sipil. Rustiana Ketua LSM Lembaga Independen Pemantauan Anggaran (LIPA) , menyatakan pihaknya mulai merancang agenda pemantauan ketat terhadap kinerja kepala daerah.
“Ini bukan soal suka atau tidak suka. Ini soal tanggung jawab publik. Janji adalah utang politik. Kalau tidak ditepati, itu pengkhianatan terhadap konstituen. Kami tidak akan diam melihat rakyat terus-menerus dibohongi,” tegasnya.
Menurut dia,pemerintah seharusnya segera membuka data capaian 100 hari kerja secara transparan dan akuntabel. Jika tidak ada keterbukaan, kata dia, wajar jika rakyat menilai bahwa yang terjadi selama ini hanyalah pencitraan.
Proyek Tak Jelas, Arah Tak Terarah
Salah satu kritik tajam yang mencuat adalah absennya peta jalan (roadmap) pembangunan jangka pendek dan menengah. Banyak kebijakan dinilai tidak sinkron antarlembaga dan terkesan reaktif, bukan proaktif.
“Sampai hari ini, publik tidak tahu apa program unggulan 100 hari mereka. Bahkan DPRD pun seperti belum dilibatkan secara maksimal dalam evaluasi kinerja,” ujar salah satu sumber dari kalangan Jurnalis yang enggan disebutkan namanya.
Ia juga menyebut bahwa penunjukan sejumlah pejabat di level eselon pun terkesan lebih bernuansa politis ketimbang berdasarkan kompetensi.
Akankah Kritik Dijawab dengan Aksi?
Dengan gelombang kritik yang terus menguat, publik kini menanti: apakah duet Bupati dan Wakil Bupati Garut akan merespons dengan langkah nyata? Atau justru kembali berlindung di balik dalih “butuh waktu dan proses”?
Sejumlah pihak menilai, inilah momen krusial yang akan menentukan arah kepemimpinan mereka selama lima tahun ke depan.
“Jangan biarkan rakyat kembali jadi korban janji. Kalau tidak mampu, lebih baik buka ruang partisipasi publik yang jujur dan akui kelemahan,” pungkas Rustiana.
Sembari waktu terus berjalan, rakyat Garut berharap bahwa “Garut Hebat” tidak sekadar slogan politik kosong, tapi benar-benar menjadi kenyataan yang bisa dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Sebab, di balik janji yang membubung tinggi, ada harapan rakyat yang kian menipis. (*)