
Garut,RuangRakyatGarut.id – Polemik mencuat di lingkungan SMP Negeri 3 Tarogong Kidul, Kabupaten Garut, setelah sejumlah orang tua siswa mengeluhkan adanya pungutan biaya sebesar Rp150.000 yang diberlakukan kepada siswa kelas IX. Pungutan tersebut diklaim sebagai bagian dari “sistem paket” untuk membantu proses pendaftaran siswa ke jenjang pendidikan menengah atas, yakni SMA dan SMK.
Kebijakan ini menimbulkan pertanyaan besar dari para wali murid yang merasa tidak pernah diajak musyawarah atau mendapatkan penjelasan resmi dari pihak sekolah. Mereka menyebutkan bahwa pungutan tersebut datang secara tiba-tiba tanpa dasar aturan yang jelas.
“Katanya untuk memudahkan pendaftaran anak ke SMA atau SMK, tapi kami sebagai orang tua tidak pernah diajak bicara. Tahu-tahu anak saya pulang membawa informasi bahwa harus bayar Rp150.000. Ini sangat janggal,” ujar salah satu orang tua siswa yang enggan disebutkan namanya, saat ditemui wartawan pada Rabu (21/05/2025).
Lebih lanjut, orang tua tersebut menyampaikan bahwa kebijakan sistem paket ini tidak mempertimbangkan keberagaman pilihan siswa dalam melanjutkan pendidikan.
Tidak semua siswa menargetkan SMA atau SMK negeri sebagai pilihan utama. Sebagian bahkan telah mendaftar ke sekolah swasta atau pesantren sejak jauh-jauh hari.
“Anak saya sudah daftar ke sekolah swasta dan sudah diterima. Jadi kenapa kami masih harus bayar biaya untuk pendaftaran yang tidak kami gunakan? Ini tidak masuk akal dan sangat merugikan,” keluhnya.
Diduga Langgar Aturan Dinas
Menurut pantauan RuangRakyatGarut.id, dugaan pungutan ini berpotensi melanggar aturan resmi dari Dinas Pendidikan. Dalam beberapa surat edaran sebelumnya, Dinas Pendidikan Kabupaten Garut menegaskan bahwa proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) harus dilakukan secara daring melalui sistem yang telah disiapkan pemerintah, tanpa dipungut biaya.
Kebijakan sekolah yang menghimpun dana dari orang tua siswa tanpa musyawarah atau transparansi dianggap tidak hanya menyalahi aturan, tapi juga mencederai prinsip keadilan dalam layanan pendidikan.
Sorotan dari Aktivis Pendidikan
Menanggapi keluhan ini, aktivis muda Garut sekaligus pemerhati dunia pendidikan, Ahirudin Yunus, menyayangkan praktik yang diduga menyimpang dari ketentuan resmi.
“Kalau betul ada pungutan tanpa dasar hukum, maka itu termasuk pungutan liar (pungli). Sekolah negeri tidak boleh memungut biaya di luar ketentuan, apalagi untuk hal yang sudah diatur sepenuhnya oleh negara melalui sistem online,” kata Ahirudin.
Ia menambahkan, alasan untuk mempermudah proses pendaftaran tidak dapat dijadikan dalih pembenaran, apalagi jika dilakukan secara sepihak tanpa persetujuan tertulis dari orang tua siswa.
“Setiap program yang menyangkut uang orang tua harus dimusyawarahkan. Tidak bisa sekolah membuat keputusan sepihak. Jika dibiarkan, ini akan menjadi preseden buruk dalam pengelolaan sekolah negeri,” tegasnya.
Penjelasan dari Pihak Sekolah
Menanggapi polemik tersebut, pihak SMP Negeri 3 Tarogong Kidul akhirnya angkat bicara. Dalam klarifikasi yang disampaikan oleh Jajang, operator sekolah, ia mengungkapkan bahwa kepala sekolah sudah memberikan pembinaan kepada seluruh guru dan staf sejak 28 April 2025, sebagai tindak lanjut atas instruksi dari Dinas Pendidikan.
“Sudah ada arahan dari kepala sekolah bahwa tidak boleh ada kegiatan perpisahan dan pendaftaran kolektif. Itu sudah disampaikan pada tanggal 28 April lalu. Dan sekolah juga akan mengembalikan uang yang sudah terlanjur masuk setelah ujian sekolah selesai,” ujar Jajang.
Ia juga menegaskan bahwa jika ada kegiatan setelah ujian, tidak boleh ada pungutan dana yang dilakukan oleh pihak sekolah. Pernyataan ini sekaligus mengklarifikasi bahwa pungutan tersebut bukanlah keputusan resmi sekolah, melainkan kemungkinan bentuk inisiatif yang tidak terkoordinasi secara tepat.
Desakan Evaluasi dan Tindakan Tegas
Kasus ini memicu gelombang desakan dari masyarakat, khususnya kalangan pemerhati pendidikan, agar Dinas Pendidikan Kabupaten Garut segera mengambil langkah konkret. Evaluasi menyeluruh dinilai penting untuk memastikan tidak terjadi pelanggaran serupa di sekolah-sekolah lain.
Wartawan senior dan aktivis pendidikan lokal, Riki Rustiana, menilai kejadian ini sebagai indikator lemahnya pengawasan internal di lingkungan sekolah.
“Jika pungutan itu benar dilakukan tanpa dasar hukum, maka tidak ada alasan untuk mempertahankannya. Dana harus dikembalikan. Pendidikan adalah hak anak bangsa, dan sekolah negeri harus menjadi contoh integritas serta transparansi,” ujarnya.
Catatan untuk Pemerintah Daerah
Polemik ini menjadi pengingat bagi pemerintah daerah, khususnya Dinas Pendidikan Kabupaten Garut, untuk memperkuat pengawasan dan memberikan bimbingan yang konsisten kepada seluruh satuan pendidikan. Praktik pungutan liar, sekecil apapun bentuknya, dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap dunia pendidikan.
Selain itu, partisipasi orang tua dalam pengambilan keputusan di sekolah juga perlu diperkuat agar kebijakan yang berdampak pada siswa dan keluarga tidak menjadi beban sepihak.
Dengan komitmen semua pihak sekolah, dinas, dan masyarakat, dunia pendidikan di Garut diharapkan bisa menjadi ruang yang aman, adil, dan bebas dari praktik yang membebani siswa secara finansial. (*)