
Garut, RuangRakyatGarut.id – Gonjang-ganjing kembali menerpa tubuh Perusahaan Umum Daerah (Perumda) Air Minum Tirta Intan Garut. Di tengah kebutuhan masyarakat yang terus meningkat akan layanan air bersih yang berkualitas, perusahaan pelat merah ini justru diterpa isu serius: konflik kepentingan, minimnya transparansi, serta dugaan kuat adanya campur tangan politik dalam restrukturisasi manajemen.
Polemik ini mencuat setelah keputusan mengejutkan Pemerintah Kabupaten Garut yang mencopot tiga direksi Perumda secara mendadak, lalu menunjuk dua anggota Dewan Pengawas (Dewas) untuk menduduki kursi pelaksana tugas (Plt) direksi. Nia Gania Karyana ditunjuk sebagai Plt Direktur Utama, sementara Hendro kini merangkap jabatan sebagai Plt Direktur Umum dan Direktur Teknik.
Keputusan ini menimbulkan tanda tanya besar dari berbagai kalangan, termasuk pegawai internal, pengamat kebijakan, hingga masyarakat pelanggan. Pasalnya, Dewas secara struktur seharusnya menjadi entitas pengawas independen terhadap kinerja direksi, bukan malah mengisi posisi yang diawasi.
Konflik Kepentingan yang Tak Terelakkan
Prinsip dasar tata kelola perusahaan daerah, sebagaimana diatur dalam PP 54 Tahun 2017 tentang BUMD dan Permendagri Nomor 37 Tahun 2018, menekankan pentingnya pemisahan fungsi pengawasan dan pelaksanaan. Dengan menempatkan pengawas sebagai pelaksana tugas, maka posisi kontrol melemah, bahkan bisa dikatakan lumpuh.
“Ini menabrak prinsip akuntabilitas. Pengawas menjadi pelaksana itu bukan solusi, tapi sumber masalah baru,” tegas seorang aktivis kebijakan publik Garut yang meminta identitasnya disamarkan. Ia khawatir, keputusan ini akan menciptakan ruang praktik maladministrasi dan memperburuk citra Perumda di mata publik.
Lebih jauh, keputusan tersebut juga dinilai dilakukan tanpa landasan transparan. Tidak ada pengumuman resmi yang menjelaskan alasan pencopotan direksi lama maupun dasar pengangkatan Plt dari unsur Dewas. Situasi ini semakin menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap proses internal perusahaan milik daerah tersebut.
Publik Merasa Dikesampingkan
Sejumlah pengamat lokal menyesalkan proses yang dianggap tertutup dan terburu-buru. Menurut Asep Moch. Salleh dari Lembaga Riset Daerah, tidak ada transparansi yang layak dalam pengambilan keputusan, seolah-olah publik hanya diminta menerima keputusan yang sudah jadi.
“Harusnya ada proses terbuka, penjelasan mekanisme pengangkatan, keterlibatan pihak independen, dan partisipasi masyarakat. Ini justru sebaliknya: diam-diam dan tanpa evaluasi terbuka,” ujarnya.
Asep menambahkan bahwa dalam konteks pelayanan publik yang berkaitan dengan kebutuhan dasar seperti air bersih, kepercayaan masyarakat menjadi aset paling utama. Ketika publik merasa tidak dilibatkan, maka trust akan runtuh, dan krisis kepercayaan bisa menjadi krisis layanan.
Isu Balas Jasa Politik dan Titipan Kekuasaan
Tidak hanya soal mekanisme pengangkatan yang tidak transparan, publik juga dihebohkan oleh isu masuknya figur “titipan politik” yang akan mengisi jabatan direksi definitif. Figur ini diyakini merupakan bagian dari kompromi politik atas dukungan masa lalu dalam proses politik lokal.
Beberapa sumber menyebutkan bahwa proses pengisian direksi tidak akan melalui mekanisme seleksi terbuka yang biasa diusulkan ke Kementerian Dalam Negeri, melainkan ditentukan secara internal berdasarkan kepentingan tertentu. Jika ini benar, maka Perumda Tirta Intan tidak hanya kehilangan profesionalisme, tetapi juga akan menghadapi kemunduran sistemik dalam tata kelola.
“Kalau benar jabatan direksi dijadikan ‘hadiah politik’, maka kualitas layanan air bersih akan jadi tumbal. Masyarakat yang akan menanggung akibatnya,” ujar seorang penggiat transparansi pemerintahan di Garut.
Layanan Memburuk, Pelanggan Resah
Di lapangan, dampak krisis manajemen sudah mulai dirasakan masyarakat. Salah satunya dialami warga Perumahan Jati Putra Asri, Kecamatan Tarogong Kidul. Mereka mengeluhkan buruknya layanan dalam beberapa bulan terakhir, termasuk kenaikan tagihan yang dinilai tidak rasional dan pemotongan denda yang tetap diberlakukan meski pembayaran dilakukan tepat waktu.
“Kami mendapati lonjakan tagihan hingga tiga kali lipat, tanpa pemberitahuan atau penjelasan. Bahkan ketika kami bayar tepat waktu, denda tetap muncul,” ujar seorang warga yang merasa kecewa dan meminta identitasnya dirahasiakan.
Warga juga menyebutkan bahwa sejak perubahan manajemen, layanan teknis seperti distribusi air, respon keluhan, dan transparansi tagihan semakin memburuk. Mereka menduga, hal ini disebabkan oleh diangkatnya Plt yang tidak memiliki latar belakang teknis air bersih, serta minim pengalaman di bidang operasional.
“Kalau bukan orang lapangan yang paham teknis, jangan heran kalau kinerjanya amburadul,” kata tokoh masyarakat setempat.
Somasi dan Ancaman Gugatan Hukum
Merespon kondisi ini, Forum Pelanggan Air Bersih Garut (FPABG) menyatakan siap melayangkan somasi resmi kepada manajemen Perumda Tirta Intan. Mereka menuntut adanya klarifikasi atas kenaikan tagihan, perbaikan layanan, serta reformasi manajemen yang lebih transparan dan profesional.
“Jika tidak ada perubahan nyata, kami akan tempuh jalur hukum. Ini bukan sekadar soal air, tapi soal hak konstitusional rakyat dan kegagalan pemerintah daerah dalam menjalankan fungsi pengawasan,” tegas perwakilan FPABG.
Manajemen Membuka Ruang Diskusi
Sementara itu, Plt Dirut Nia Gania Karyana saat dikonfirmasi melalui sambungan Whatsapp miliknya, dia menyatakan bahwa pengangkatan dirinya dan Hendro sudah sesuai dengan aturan yang berlaku, yakni merujuk pada PP 54 Tahun 2017 dan Permendagri 23 Tahun 2024.
“Silakan cek kembali regulasi tersebut agar dapat menilai secara objektif apakah sudah sesuai atau belum. Jika perlu diskusi, kami sangat terbuka,” ungkap Nia.
Ia menambahkan bahwa pihaknya memiliki dokumen dan dasar hukum lengkap terkait proses pengangkatan Plt, dan siap berdialog dengan siapa pun yang ingin memperoleh kejelasan.
Tuntutan Perubahan dan Evaluasi Total
Di tengah meningkatnya ketidakpuasan publik, banyak pihak menuntut agar Pemerintah Kabupaten Garut segera melakukan evaluasi total terhadap kebijakan di tubuh Perumda Tirta Intan. Desakan kuat juga datang agar jabatan direksi tidak lagi dijadikan tempat kompromi politik, melainkan diberikan kepada profesional yang memiliki kapasitas dan pengalaman.
“Garut harus move on dari budaya penunjukan karena koneksi. Air bersih itu hak rakyat, bukan alat politik,” pungkas Asep Moch. Salleh.
Penutup: Masyarakat Ingin Kepastian, Bukan Polemik
Hingga berita ini diturunkan, belum ada pernyataan resmi dari Pemerintah Kabupaten Garut mengenai langkah lanjutan pasca polemik yang terjadi. Sementara itu, gelombang ketidakpercayaan masyarakat terhadap manajemen Perumda Tirta Intan terus membesar.
Jika situasi ini terus dibiarkan tanpa perbaikan struktural, maka bukan hanya layanan air bersih yang terganggu, tetapi juga stabilitas sosial dan politik di daerah. Masyarakat tidak butuh drama politik, mereka butuh kepastian, layanan yang adil, dan pemerintahan yang berpihak pada kepentingan publik. (*)