
Garut Memanas: Sengketa Tanah Wakaf di Cimanganteun Beralih Ke Meja Hijau Somasi Melayang dan Ancaman Pidana Mengintai
Garut,Ruangrakyatgarut.id – Perseteruan terkait kepemilikan sebidang tanah di Blok Sibuleng, Desa Cimanganten, Kecamatan Tarogong Kaler, Kabupaten Garut, tengah menjadi perhatian publik setelah dua pihak yang saling bertolak belakang menyatakan klaim sah atas tanah tersebut. Tanah yang disebut-sebut telah diwakafkan untuk kepentingan sosial dan keagamaan, kini justru menjadi objek transaksi jual beli yang digugat secara moral maupun hukum.
Perselisihan ini mulai menghangat setelah Kantor Hukum TM & Partners melayangkan surat somasi bernomor 015/TM&Partners/Somasi/V/2025 kepada Badan Penyuluhan dan Pembelaan Hukum (BPPH) Pemuda Pancasila Majelis Pimpinan Wilayah (MPW) Jawa Barat. Surat somasi yang dikirimkan ke markas organisasi tersebut di Jalan BKR, Kota Bandung, menegaskan bahwa klien mereka, Tonny Kusmanto alias Koh On-on, adalah pembeli sah tanah yang saat ini diklaim sebagai tanah wakaf oleh pihak lain.
Dalam keterangan tertulis yang diterima redaksi, Tim Kuasa Hukum TM & Partners, yaitu Tomi Mulyana, S.H., M.H., M.Kom., dan Ega Gunawan, S.H., M.Si., M.H., menyatakan bahwa transaksi jual beli yang dilakukan oleh kliennya dilakukan dengan itikad baik dan berdasarkan prosedur hukum yang berlaku. Tanah tersebut dibeli dengan harga wajar, tidak berada dalam status sengketa, tidak sedang disita, dan bukan merupakan agunan kredit.
“Kami sudah melakukan pengecekan keabsahan secara menyeluruh, termasuk menelusuri riwayat tanah ke Badan Pertanahan Nasional (BPN). Semua legalitas terverifikasi dan sah menurut hukum,” ujar Tomi Mulyana dalam pernyataannya. Senin, (12/05/2025).
Namun, klaim tersebut ditentang keras oleh keluarga besar ahli waris yang menyatakan bahwa tanah tersebut sudah lama diwakafkan untuk kepentingan pendidikan dan sosial. Pernyataan itu disampaikan oleh Rd. Abdul Azis Syah Ma’muni, salah satu tokoh keluarga yang menjadi juru bicara dalam polemik ini.
Menurut Azis, tanah tersebut tidak pernah dijual oleh pihak keluarga dan bahkan telah memiliki nota wakaf yang mempertegas peruntukannya sebagai bagian dari aset wakaf. Ia menilai bahwa segala bentuk transaksi tanpa izin dari Badan Wakaf Indonesia (BWI) dan Menteri Agama tidak sah secara hukum maupun agama.
“Tanah itu sudah diwakafkan. Kami, keluarga besar, tidak pernah merasa menjualnya. Dalam UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, harta benda wakaf tidak boleh dijual, disita, dijadikan jaminan, atau dialihkan dalam bentuk apapun kecuali dengan izin resmi,” tegas Azis.
Lebih lanjut, Azis menuding bahwa tindakan jual beli tersebut berpotensi menimbulkan tindak pidana sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Ia menyebut, jika terbukti terjadi pelanggaran atas status tanah wakaf, maka pihak-pihak yang terlibat dapat dikenai sanksi pidana hingga 5 tahun penjara dan/atau denda hingga Rp500 juta sebagaimana diatur dalam Pasal 67 UU Wakaf.
Plang & Stiker Pemuda Pancasila Menambah Ketegangan
Situasi semakin memanas ketika BPPH Pemuda Pancasila memasang plang nama dan stiker organisasi di atas lahan yang diklaim Tonny Kusmanto sebagai miliknya. Tindakan tersebut langsung diprotes oleh pihak TM & Partners yang menilai hal itu merupakan bentuk perbuatan melawan hukum, sebab dilakukan tanpa dasar kepemilikan atau izin resmi.
Dalam surat somasinya, mereka meminta BPPH untuk segera mencabut plang tersebut serta menghentikan segala aktivitas yang bersifat intimidatif dan provokatif di atas tanah yang sedang disengketakan.
Namun, dari pihak BPPH dan keluarga ahli waris, aksi pemasangan plang itu justru dianggap sebagai bentuk proteksi terhadap aset wakaf umat. Mereka menegaskan tidak akan membiarkan tanah wakaf dialihkan menjadi aset komersial, terlebih jika prosesnya dinilai cacat hukum dan etika.
“Kami bertindak atas nama kepentingan umat. Sampai ada keputusan final dari otoritas resmi atau pengadilan, tidak boleh ada aktivitas alih fungsi atau pemanfaatan tanah itu di luar niat awal pewakaf,” ujar Azis.
Konflik Hukum dan Etika: Ujian Kepercayaan Publik
Kasus ini menarik perhatian luas karena menyangkut dua sisi yang sama-sama sensitif: hukum agraria dan kepercayaan keagamaan. Sengketa tanah wakaf selalu menjadi isu serius karena tidak hanya berbicara tentang status legal formal, tetapi juga menyangkut nilai-nilai moral dan sosial yang melekat pada tanah yang telah diwakafkan.
Pakar hukum yang enggan disebut namanya mengatakan bahwa penyelesaian konflik seperti ini tidak cukup hanya dengan menunjukkan sertifikat atau dokumen transaksi. Harus ada verifikasi menyeluruh terhadap asal-usul tanah, peruntukan sebelumnya, dan apakah proses pewakafan pernah terjadi, baik secara formal di BWI atau secara adat yang kuat di masyarakat.
“Jika benar tanah itu wakaf dan diperuntukkan untuk pendidikan atau panti asuhan, maka secara moral dan hukum jual beli itu cacat. Tidak sah. Apalagi jika dilakukan tanpa izin dari BWI,” katanya.
Imbauan: Cek Ulang Sebelum Transaksi Tanah
Kasus ini menjadi alarm penting bagi masyarakat, terutama calon pembeli tanah di daerah yang memiliki riwayat penggunaan sosial atau keagamaan. Masyarakat diimbau untuk tidak hanya melihat faktor lokasi dan harga, tetapi juga memeriksa status tanah secara menyeluruh, termasuk kemungkinan adanya sejarah wakaf atau sengketa adat.
“Hukum bukan hanya tentang pasal-pasal, tapi juga soal kehati-hatian dan akal sehat,” kata Azis menutup pernyataannya.
Untuk saat ini, kasus tersebut masih dalam tahap somasi dan belum diketahui apakah akan berlanjut ke jalur litigasi atau penyelesaian alternatif. Yang jelas, baik pihak TM & Partners maupun keluarga ahli waris sama-sama bersiap dengan argumen dan bukti hukum masing-masing.
Satu hal yang pasti: tanah wakaf bukan perkara remeh. Ketika status sakral dan sosialnya dipertaruhkan, konflik tidak hanya bergema di ruang hukum, tetapi juga di hati masyarakat. (**)